Merasa sudah ada suasana sudah berubah, Mewa’a Sihura , 48 tahun menyuruh anaknya yang bersekolah di SDN 39 Mata Air Barat, Padang Selatan ke sekolah tidak memakai jilbab. Di sekolah dasar ini ada 30 peserta didik nonmuslim. Dua anaknya, yang besar 10 tahun (kelas VI), adiknya 7 tahun kelas III menurut saja ketika menonton tidak berjilbab lagi ke sekolah. “Karena kami (orangtua) memberikan pengertian bahwa sudah ada keputusan siswi nonmuslim tidak menggunakan jilbab ke sekolah. Mereka merasa tidak khawatir. Bahkan saya lihat, mereka sangat senang”, ujar Mewa’a.

Meskipun demikian, umat Paroki Santa Maria Bunda Yesus Tirtonadi Padang ini dan para orangtua yang lain merasa perlu “mengawal” anak-anaknya. Benar! Buntut dari anak-anaknya tidak berjilbab, kepala sekolah memanggil dan meminta para orangtua ke sekolah untuk dimintai keterangan. Bersama undangan dua peserta didik yang lain, Mewa’a mengurus kepala sekolah. Kepala sekolah meminta penjelasan dari orangtua sehingga anak-anaknya tidak memakai hijab seperti biasanya.

Terjadilah diskusi panjang lebar. Kepala sekolah pun membuat perbandingan kalau Bunda Maria, biarawati Katolik) juga memakai jilbab. Mewa’a dan dua orangtua tidak mau kalah dengan mengajukan alasan berdasarkan UU atau konstitusi. Akhir dari pertemuan dan diskusi panjang lebar itu, kepala sekolah memutuskan tidak mewajibkan lagi peserta didik nonmuslim memakai jilbab.

Pada awalnya, lanjut Mewa’a,  kepala sekolah tampak ragu memutuskan ya atau tidak. Mungkin takut pada atasannya. Kepala sekolah menyatakan bahwa yang berlaku selama ini hanya meneruskan peraturan yang sudah ada sebelumnya. Kebiasaan berjilbab dijalankan seperti biasa, sudah berjalan 16 tahun. Sang kepsek yang baru tiga tahunan  pindah ke sekolah ini paham bahwa kebijakan ini dikeluarkan Wako Padang Fauzi Bahar. Karena persoalan ini sudah viral,  banyak desakan dari berbagai pihak, ada potensi pelanggaran UU, kepala sekolah berani mengambil keputusan.

Dari pengalaman ini, Mewa’a berpesan agar para orangtua peserta didik yang merasa tidak memakai jilbab ke sekolah, agar menghubungi sekolah-masing untuk menyampaikan pernyataannya. “Kalau pemanasan tidak disampaikan, pihak sekolah akan menilai semua aman-aman saja. Seolah-olah tidak ada masalah” lanjutnya. Terkait Surat Edaran Kepala Dinas Pendidikan Kota Padang, Mewa’a menilai belum menjawab masalah, karena tidak ada kata terkait penggunaan jilbab bagi peserta didik nonmuslim. Dalam surat edaran tersebut hanya ditulis pemakaian seragam yang sudah biasa dilakukan di sekolah. “Menurut saya dari surat edaran itu perlu dipertanyakan lagi tentang penegasannya bahwa peserta didik nonmuslim tidak dipaksa memakai jilbab lagi. Surat Edaran tidak tegas dan sifatnya biasa saja.”

Perjuangan Mewa’a sebenarnya tidak sebatas membebaskan anak-anaknya dari berjilbab, tetapi tegaknya konstitusi dan tidak terjadi intoleransi, juga maskapai penerbangan. Sebagai pengikut Kristus, tidak pantas kalau anaknya diwajibkan memakai atribut nonkristen (jilbab). Karena ada potensi hak asasi anak seperti diatur dalam konstitusi, maka perlu direvisi oleh para pemangku jabatan dan kepentingan.

Dengan terbitnya SKB Tiga Menteri, menurut Mewa’a ada ruang kebebasan bagi semua peserta didik di sekolah negeri. Meskipun secara tersurat tidak ada pemaksaan berjilbab, namun dalam praktiknya terjadi pemaksaan. Sebelumnya, peserta didik tidak bisa memilih mengikuti kebijakan atau aturan sekolah. Kalau di Sumatera Barat, Wako Pariaman menolak dan Fauzi Bahar siap 300 Pengacara, boleh-boleh saja. Tetapi ingat, setiap warga negara, negara itu harus tunduk pada hukum dan undang-undangan yang sesuai di NKRI. Bila warga negara punya hak untuk melakukan tinjauan yudisial. Biarlah Mahkamah Agung (MA) yang memutuskan. “Tetapi bagi saya mengacu pada konstitusi yang tepat SKB Tiga Menteri itu sudah tepat dan sesuai UU,” katanya. (ws)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *