Entah mengapa, saya (Karmila Berisigep) suka dengan Stefanus Sama Harefa (suami saya)? Sebelumnya saya tidak mengenalnya, apalagi latar belakangnya. Saya kenal dirinya lewat teman kakak perempuan saya. Saat itu, saya pulang ke Sikakap, Mentawai, setelah beberapa waktu bekerja di Kota Padang. Sembari menunggu lowongan pekerjaan, saya bantu-bantu kakak.
Kala itu, saya diperkenalkan dengan seorang anak buah kapal (ABK) rute Padang – Mentawai. Setelah perkenalan, kami berteman, lalu berpacaran dan semakin serius selama setahun. Kami merasa ada kecocokan. Kala itu, saya dapat merasakan bahwa dialah yang akan menjadi jodoh atau suami saya kelak. Saya suka wajahnya yang ganteng di mata saya, meski saya tidak ‘memasang’ kriteria tertentu. Saya yakin, kalau sudah jodoh, ke mana pun, tetap jodoh. Setiap jumpa, jantung saya berdebar kuat. Saat dia melamar, orangtua saya mengatakan, “Kalau memang dia jodohmu, kami pun menerimanya!”
Kami menikah di Paroki Santa Maria Bunda Yesus-Tirtonadi, Padang (1991). Usia saya 23 tahun, dia 27 tahun. Kini, kami dikaruniai Tuhan empat anak. Satu tahun ‘pertemanan’ kami, saya menemukan hal-hal yang unik, khas, dan menonjol darinya. Memang, masih banyak yang perlu ‘dipelajari’ meski kami sebagai suami-istri. Benar pula kata-kata orang tua masa pacaran adalah masa yang indah, yang tampak yang bagus saja.
Suami saya bekerja sebagai ABK hingga tahun 1993. Karena merasa penghasilan tidak memadai lagi, kami pindah ke Padang. Kami mengontrak rumah di daerah Pampangan. Ia bekerja pada abangnya sebagai buruh bangunan. Sejak menikah, kami menjalani hidup berumah tangga dalam suka-duka. Ada ‘riak-riak kecil’ dalam rumah tangga, tetapi bisa kami atasi. Hal itu wajar! Tanpa terasa, kini hampir tiga puluh tahun usia pernikahan kami. Kami terus belajar dan belajar untuk saling memahami. (hrd)