Hari Minggu Biasa XXII
29 Agustus 2021
Ul 4:1-2,6-8; Mzm 15:2-3a, 3cd-4ab, 5;
Yak 1:17-18, 21b-22,27; Mrk 7:1-8,14-15,21-23
Meskipun telah hidup di zaman modern, komunitas masyarakat di bumi Nusantara ini tidak bisa melepaskan diri dari kebiasaan dari budaya nenek moyangnya. Upacara adat perkawinan, kematian, turun mandi anak dan lain sebagainya tetap dilaksanakan. Bahkan dalam komunitas adat tertentu, kalau upacara adat tidak dilakukan akan dianggap sebagai utang yang mesti dibayar. Mereka tidak mempersoalkan apakah budaya itu bertentangan dengan ajaran agamanya atau tidak.
Sabda Tuhan hari ini mengajak kita masuk ke kedalaman batin dalam menjalani hidup. Ajakan ini tampak jelas dari kata-kata yang berlawanan yang terdapat dalam Injil; bibir dilawankan dengan hati (Mrk 7:6), adat-istiadat manusia dilawankan dengan perintah Allah, hal-hal yang dari luar, dilawankan dengan hal-hal yang dari dalam. Dalam rangka mengajak masuk ke dalam batin itu, bacaan hari ini ditampilkan. Sebagian besar Kitab Ulangan terdiri dari peraturan atau hukum, sama seperti halnya Kitab Imamat. Namun dibandingkan dengan Kitab Imamat, Kitab Ulangan sungguh istimewa. Kitab Ulangan lebih merupakan homili daripada perintah untuk melaksanakan peraturan. Dalam pengajaran itu diberikan motivasi-motivasi untuk membangun hidup yang benar dan baik, yaitu hidup yang selalu menanggapi Tuhan dalam kasih. Hidup umat yang seperti inilah yang dapat disebut hidup yang bijaksana dan berakal budi, dan di dalam hal itulah terletak kebesaran manusia yang sebenarnya.
Maka tidak mengherankan kalau dalam Injil, Yesus sering mengutip Kitab Ulangan. Ketika digoda oleh setan di padang gurun, Ia menangkis godaan itu dengan mengutip kitab itu. Ketika menjawab pertanyaan Ahli Taurat mengenai hukum yang paling utama (Mrk 12:28-34), Yesus juga mengutip Kitab Ulangan. Demikian menjadi jelas bahwa Yesus mau membangun hidup para murid dengan model Kitab Ulangan, yang pada waktu itu boleh dikatakan berperan sebagai suara hati umat Allah. Melalui Kitab Ulangan umat diajak kembali pada pandangan hidup yang paling dasar dan batiniah.
Pembicaraan antara orang Farisi dan Ahli Taurat dengan Yesus yang disajikan Markus menunjukkan bahwa usaha membangun kehidupan yang mendalam dan batiniah, yang dipimpin oleh suara hati yang benar, bukanlah hal yang mudah. Jauh lebih mudah berpegang pada peraturan dan hukum yang memberi petunjuk konkret dengan semua sanksi bagi pelanggarnya, sampai ke hal yang paling kecil sekalipun, misalnya cara mencuci tangan, cawan, dan perkakas lain. Orang-orang yang mempunyai cara berpikir dan bersikap seperti ini merasa cukup mendasarkan pilihan-pilihannya pada pertimbangan “boleh dan tidak boleh.” Mereka tidak berpikir lebih jauh lagi, bukan pada baik atau tidak baik, benar atau tidak benar yang penting “melaksanakan perintah”. Dengan sangat keras, Yesus berkata kepada mereka, “Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh daripada-Ku.” Kata-kata ini sangat keras, karena seorang munafik pada dasarnya adalah seorang yang bermain sandiwara dalam hidupnya. Ia tidak pernah bersikap tulus, yang penting baginya adalah yang lahiriah dilakukan, tanpa peduli dengan yang ada dalam hatinya. Demikian juga ia hanya melakukan kegiatan sekedar rutinitas yang harus diikuti atau lakukan saja, sehingga orang seperti ini tidak pernah berpikir bahwa setiap ibadah mengajak orang untuk merayakan karya kasih Allah dalam hidup dan mensyukurinya. Salah satu akibatnya, orang itu akan sangat mudah melihat orang lain dan siap menyalahkannya kalau orang itu bersikap dan bertindak tidak sesuai dengan yang dianggapnya benar. Yesus juga mengatakan bahwa segala sesuatu dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak menajiskannya. Namun, apa yang ke luar dari mulut seseorang, itulah yang menajiskannya, sebab dari dalam hati orang timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, dan lain sebagainya.
Bagi kita sabda itu kedengaran biasa, tetapi pada zaman itu, sangatlah revolusioner. Yesus menantang orang untuk berpikir dengan cara yang revolusioner, dengan mata dan hati yang jernih. Yesus mengajak untuk meninggalkan hal-hal sepele mengenai boleh makan ini atau tidak sehingga menyita banyak tenaga dan waktu. Yesus mengajak orang untuk memberikan waktu pada hal-hal yang jauh lebih penting dan hakiki. Surat Santo Yakobus merumuskan ajakan itu demikian, “…terimalah firman yang tertanam di dalam hatimu yang berkuasa menyelamatkan jiwamu.” Baru kalau orang sungguh masuk ke dalam diri batiniahnya, berjumpa dengan Allah yang bersemayam di sana dan mendengarkan firman-Nya, ia dapat menjadi pendengar dan pelaku firman yang benar.
Kita diajak untuk masuk ke dalam batin untuk mengolah hidup dengan harapan dapat menjadi pelaku firman yang benar. Santo Yakobus mengistilahkan dengan “mengekang lidah.” Hal ini, menurutnya dapat dilakukan dengan mengunjungi yatim-piatu dan janda-janda, dan menjaga diri agar tidak dicemarkan oleh dunia. Sementara itu kita sadar dan mengalami, di sekitar kita ada bagitu banyak hal yang menghambat untuk sungguh-sungguh masuk ke dalam batin. Tinggal kita sendirilah yang harus memilih, ingin menjadi orang yang bijaksana dan berbudi atau pilihan lain?