Bagi umat Katolik mencintai  tanah air atau nasionalisme ada dasar biblisnya (Alkitabiahnya). “ …berikanlah kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.” (bdk. Mat. 22:21). Nats lain  yang mempertegas agar ada tindakan nyata, tidak sekedar berbicara adalah:  “ …iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati.” (bdk. Yak 2:20). Iman harus diwujudnyatakan dalam tindakan!  Karena iman tanpa perbuatan adalah sia-sia.

Di dalam Gereja Katolik, dasar iman tersebut juga didukung sejumlah dokumen Gereja, terutama hasil Konsili Vatikan II, yang menajamkan pada kerasulan awam, yaitu dokumen Lumen Gentium. Intinya, kita yang percaya pada ajaran Yesus Kristus dan menjadi pengikut-Nya,  juga harus atau wajib terlibat dalam hidup bermasyarakat/bernegara, termasuk cinta tanah air dan bangsa. Sejarah Indonesia membuktikan sejumlah tokoh Katolik menjadi pejuang dan pahlawan yang menerapkan hidup “cinta Gereja dan cinta tanah air” (pro ecclesia et patria). Begitupun dengan umat Katolik, bersama dengan umat beragama lainnya, turut dalam pergerakan perjuangan bangsa merebut kemerdekaan di masa silam.

Sejumlah organisasi massa (ormas) Katolik, yaitu: Pemuda Katolik, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA), Wanita Katolik Republik Indonesia

wadah bagi kaum awam merasul dalam rangka perjuangan bangsa dan negara ini.  Bahkan, Wanita Katolik RI yang kini berusia 97 tahun,  telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdiri (1945). Hal ini mempertegas kuatnya kecintaan umat Katolik kepada bangsa dan negara ini sejak dahulu, kini, dan selamanya.

Bagaimana dengan kecintaan tanah air, nasiolisme itu di  masa kini? Kalau ada yang beranggapan seakan semakin menipis dan memprihatinkan, mungkin sekilas demikian. Namun, tidak sepenuhnya betul dan hanya sebagian kecil saja dalam kelompok masyarakat yang memperlihatkan tanda-tanda demikian. Kalau ada yang berpendapat, hal tersebut sebagai efek/dampak reformasi yang kebablasan. Tetapi, hal tersebut boleh disebut hanya perilaku segelintir orang (oknum). Bukan menyeluruh pada komunitas Gereja. Saya merasa dan menilai, demokrasi yang berlangsung sekarang adalah demokrasi yang sesungguhnya. Pemerintahan sekarang tampak benar-benar mau memajukan  rakyatnya, untuk berdemokrasi. Presiden sekarang benar-benar menunjukkan demokrasi yang baik seperti dijalani sekarang.

Apakah nasionalisme bisa luntur? Bisa saja! Iman umat saja bisa meluntur, umat mengalami krisis iman, apalagi cinta tanah air!  Untuk mengantisipasi dan mengatasi lunturnya nasionalisme ini, Gereja mesti harus dan terus berkatekese sehingga warganya mengalami  metanoia  dan bertobat. Langkah lain melalui Dewan Pastoral Paroki (DPP) dan organisasi kemasyarakatan Katolik melakukan  upaya untuk tetap membangun negara dan nasionalisme. Bagi umat Katolik,  NKRI harga mati!  Begitupun pilar-pilar  negara, yaitu: UUD 1945, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika harus tetap dijaga!  Karena, bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh! Upaya bersama ini mestilah dilakukan bersama-sama dan dengan penuh semangat.

Warga Gereja mesti militan dalam membela dan mempertahankan negaranya.  Inilah tugas sebagai warga negara sekaligus warga Gereja. Mencintai tanah air   sebagaimana mencintai iman sendiri. Dengan semangat Injil,  umat Katolik  mesti  hadir dan menggerakkan umat dan masyarakat untuk mempertahankan dan memajukan negara.  Kita hadir dalam semua lini dan bidang kehidupan untuk ambil bagian peranan. Upaya lain dengan memperbanyak dan menjalin relasi persaudaraan dengan penganut agama lain. Di Keuskupan Padang, Komisi Kerasulan Awam bersama komisi, lembaga, yayasan bergerak dan berupaya agar semangat cinta tanah air tetap terpatri. Secara khusus, di Pekanbaru, saya mengajak semua potensi organisasi kemasyarakatan dan kegerejaan aktif hadir dan mengambil bagian dalam kegiatan lingkungan masyarakat.

Radikalisme, terorisme, intoleransi, separatisme merusak negara ini adalah musuh bersama.  Bukan hanya musuh umat Katolik, tetapi juga umat beragama lain.  Ormas intoleran unjuk rasa sana-sini, menggerogoti wibawa pemerintah dan NKRI.  Memang, pemerintah mesti mengedepankan kebijakan yang pro rakyat. Namun, di sisi lain, warga masyarakat pun mestinya mampu melihat nilai positif kebijakan pemerintah, bukan asal kritik tanpa solusi.  Rakyat  jangan selalu berpikiran negatif terhadap pemerintah.

Beberapa tahun terakhir ini, terasa sekali upaya dari sekelompok orang dan ormas yang mau menggantikan Pancasila dengan ideologi lain.  Tentu kita harus menentangnya, sebab NKRI bukanlah negara agama. Sikap dan perilaku oknum atau pihak-pihak yang ingin mengubah dasar dan haluan negara ini sudah kebablasan. Mempertahankan persatuan dan kesatuan NKRI menjadi tugas, kewajiban, dan  bersama warga negara. Kita mesti bergerak bersama dengan umat beragama lain.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *