Apakah Anda sejak kecil ingin menjadi imam (pastor)? Jawaban saya: “Tidak ada sama sekali!” Saya lahir di (Malaysia), anak ketiga dari 4 bersaudara. Orangtua merantau di negeri Jiran itu untuk menyambung hidup. Meskipun dibesarkan di tanah rantau, kedua orangtua selalu membawa kami mengikuti perayaan Ekaristi hari Minggu. Setelah perayaan Ekaristi, kami disuruh mengikuti kegiatan Bina Iman Anak (BIA). Namanya anak-anak, semuanya saya jalani karena takut dengan orangtua. Dari situ saya tahu, orangtua kami tidak membiarkan iman anak-anaknya terabaikan.
Saat saya umur 7 tahun, kami diantarkan orangtua ke kampung di Adonara, Flores Timur, NTT. Kami berempat hidup bersama keluarga Om. Kedua orangtua kami kembali lagi ke Malaysia mencari uang untuk biayai hidup dan sekolah kami. Om seorang tentara, sehingga mendidik kami dengan sangat disiplin dalam berbagai hal. Tak terkecuali dalam hal iman. Setiap ada kegiatan Gereja selalu kami ikuti.
Setelah tamat SD, saya keluar dari Adonara melanjutkan ke SMP dan tinggal di asrama menyusul kakak. Pengalaman hidup bersama di keluarga Om yang serba disiplin membuat saya tidak kesulitan hidup di asrama. Jarak asrama kami ini tidak terlalu jauh dengan seminari menengah. Setiap sore, kadang kami bertegur sapa dan bercerita dengan anak-anak seminari yang keluar dari asramanya untuk belanja keperluan pribadi. Sampai dititik ini, saya belum tahu seminari itu sekolah untuk calon imam (pastor). Ketika kelas III SMP, seorang teman mengajak setelah lulus nanti melamar masuk seminari. Saya pun mengiyakan saja, sekedar coba-coba. Ehh…. ternyata kami berdua diterima.
Pengalaman hidup di seminari membuat saya mendalami aspek kehidupan, yaitu: kepribadian, kerohanian, intelektual, relasi dengan teman-teman dari budaya lain. Saya belajar berkomunikasi, melatih kepekaan, tanggung jawab, dan banyak hal lain yang menunjang kepribadian. Boleh saya katakan, panggilan saya berawal dari coba-coba, saya rawat tumbuhkan secara perlahan. Di seminari saya begitu bersemangat, orangtua terlebih ibu sangat mendukung. Demi membiayai saya di seminari sampai selesai, meski kondisinya sakit., ibu tetap berangkat lagi ke Malaysia untuk bekerja. Tuhan berkehendak lain. Dua minggu menjelang ujian akhir nasional, saya mendapatkan kabar ibu dipanggil Tuhan. Peristiwa duka ini pukulan berat di awal panggilan saya. Ibulah salah satu mendukung kuat panggilan saya. Jiwa saya bergejolak. Ada perasaan ingin keluar dan menyerah. Tetapi selalu saja ada pihak-pihak yang memberi masukan, memotivasi yang menguatkan saya untuk melanjutkan pilihan ini. Saya juga tidak ingin mengecewakan ibu.
Di seminari banyak romo SVD. Awalnya saya tertarik dan ingin masuk ke ordo ini. Hampir setiap tahun banyak kakak kelas yang memilih masuk ke ordo ini. Namun saat kelas III, pilihan saya berubah. Saat itu seorang romo SSCC mengadakan promosi panggilan. Salah satu yang memotivasi saya memilih SSCC bisa
keluar negeri. Di biara SSCC, tahun kedua (masa novisiat) dijalani di luar negeri, yaitu Filipina. Awalnya, bersama saya, ada 11 yang melamar, tetapi hanya 5 yang diterima. Teman seangkatan saya di postulan 18 orang, namun dalam perjalanan waktu, 17 orang memilih untuk menjalani panggilan hidup lain. Tinggal saya sendirian.
Perjalanan panggilan saya di formasi SSCC pun tidak berjalan mulus. Di tahun kedua (masa novisiat), saya mendapat kabar duka, ayah meninggal. Untuk kedua kalinya saya terpukul. Duka dan sedih atas kepergian ibu belum berlalu, sekarang ditambah kepergian ayah. Beberapa hari setelah kabar duka ini, saya mencoba memutuskan keluar saja. Saya merasa orang-orang yang mendukung panggilan saya tiada lagi. Ada pergolakan batin. Saya benci Tuhan! Mengapa kedua orang yang begitu saya cintai diambil-Nya.
Sebelum mengambil keputusan final, saya mendapatkan kesempatan untuk berefleksi. Pertanyaan yang begitu kuat muncul saat itu adalah: “Apakah panggilanku ini panggilan kedua orangtuaku?” Pertanyaan inilah yang secara perlahan-lahan kembali memberiku kekuatan. Jika panggilanku ini rencana Tuhan, jika ini panggilan Tuhan, saya akan melanjutkan. Perjalanan selanjutnya, dari setiap proses yang saya jalani, pendampingan dari tim formator di setiap stage dan moment penyertaan Tuhan, membuat saya menjadi sangat yakin bahwa “jika Tuhan yang memanggil, jika Tuhan yang merencanakan semuanya ini, segala sesuatunya akan indah pada waktunya.”