Perjumpaan pertama saya dengan uskup baru Keuskupan Padang lebih dari dua puluh tahun lalu.  Saat itu, saya kelas I (VII) SMP Yos Sudarso 2 Siberut.  Beliau saat itu berstatus calon imam – Frater Vitus Rubianto Solichin, sedang menjalani  Tahun Orientasi Pastoral (TOM). Frater Rubi – kami memanggilnya.

Walau hanya setahun mengenalnya, saya terkesan dengan sikapnya yang mampu membaur di tengah umat/masyarakat, lembut, penuh kasih dan rendah hati. Keterampilannya  melukis saya sangat ingat. Bahkan, gara-gara sering berjumpa dan berkonsultasi dengannya, saya sempat kepincut dan berencana masuk seminari, menjadi pastor juga. Setelah TOM-nya berakhir, saya masih berkirim surat tiga kali kepadanya. Berkirim surat saat itu masih andalan untuk berkomunikasi. Biasanya, bila menerima balasan surat, saya bercerita pada teman-teman penghuni asrama. Berbagi kegembiraan.

Dengan Frater Rubi,  saya punya pengalaman membekas. Bagi saya, luar biasa senangnya menerima balasan suratnya yang dikirim dari Jalan Cempaka Putih-Jakarta. Selain itu, saya juga terkesan dengan kedekatannya dengan anak-anak asrama. Meski tidak terlalu banyak seluk-beluk dan latar belakang dirinya, yang pasti  ada kebanggaan tersendiri saat saya menerima balasan-balasan surat, berupa kartu yang ada ‘merek’ Wisma Xaverian tersebut.

Memang, biasanya balasan surat tersebut tidak terlalu panjang lebar. Saya ingat, pernah suatu ketika, Frater Rubi mengirimkan selembar foto diri, namun kini tidak jelas keberadaannya. Inti balasan surat tersebut: salam kasih, dalam keadaan sehat, semoga keluarga (saya) dalam keadaan sehat selalu. Dalam salah satu surat balasan tersebut, Frater Rubi menuliskan kenangan dan pengalaman makan sagu dan ikan serta makanan lokal lainnya yang sangat sederhana. Ternyata, beliau sangat menikmati hal demikian. Biasanya, kalau berkumpul bersama, Frater Rubi suka memberikan motivasi/semangat kepada kami (pelajar dan penghuni asrama) dengan bahasa kasih. Frater terlihat simpatik tatkala berbicara dan punya senyum yang manis. Beliau orang yang tenang (cool), sejuk, dan kedamaian hati. Meski hanya setahun berkenalan dengan beliau, namun banyak kenangan manis bagi kami, para penghuni asrama. Bahkan, sepertinya pada beliau selalu ada solusi. Cara bicaranya sungguh menyentuh hati. Ia juga sosok penuh optimis.

Saya dan mungkin juga teman-teman di asrama kala itu, tidak begitu tahu persis latar belakang keluarga Frater Rubi. Kami hanya tahu sekilas tatkala perkenalan awal dengan beliau ke asrama kami. Dari logat atau cara bicaranya, terlihat seakan frater ini berasal dari lingkungan masyarakat Jawa. Saya pernah mendengarkan orang Jawa yang berdomisili di Muara Siberut berbicara. Punya logat bicara yang khas. Perkenalan Frater Rubi dengan para penghuni asrama (putera dan puteri) ikut menambah pemahaman tentang situasi kondisi kami masing-masing di pelosok Kepulauan Mentawai. Di asrama, para penghuni berasal dari berbagai daerah, mulai dari Utara (Siberut Utara) hingga Selatan (Sikakap) yang bersekolah di SMP Yos Sudarso 2 Siberut.

Selain pengenalan tentang situasi daerah masing-masing, Frater Rubi memanfaatkan perkenalannya dengan penghuni asrama untuk belajar bahasa. Terlihat, tingginya kemauan belajarnya. Tiada yang mustahil bila beliau bisa berbahasa Mentawai. Saya yakin, karena pernah bergaul dengan umat di Paroki Siberut, Uskup Vitus (dahulu lebih dikenal dengan panggilan Frater Rubi – saat TOP), punya ikatan emosional dan kedekatan yang kuat. Semoga beliau masih bisa bercakap-cakap dalam bahasa Mentawai.

Kristinus Andre Satoko
Mantan Peserta Didik SMP Yos Sudarso 2,
Siberut, Kepulauan Mentawai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *