Salam belas kasih,
akhir-akhir ini kata “sinode” menjadi sangat akrab di tengah umat kita. Istilah yang berasal dari perpaduan dua kata Yunani syn (bersama) dan hodos (jalan) ini menjadi populer sejak diserukannya Sinode Para Uskup sedunia ke-16 yang akan diselenggarakan di Roma pada bulan Oktober 2023. Sinode kali ini cukup berbeda dengan penyelenggaraan sinode-sinode sebelumnya karena Bapa Suci, Paus Fransiskus ingin mendengarkan suara dari Gereja lokal.
Oleh karena itu sejak beliau membuka Sinode Para Uskup XVI pada 10 Oktober 2021 yang lalu, gereja-gereja di setiap keuskupan memulai juga proses sinode di tingkat lokal dengan pembukaan resmi pada 17 Oktober 2021 atau sesudahnya. Tema yang diusung adalah “Menuju Gereja Sinodal: Persekutuan, Partisipasi dan Misi.” Ada sepuluh pokok tematik yang diharapkan dapat mengartikulasikan berbagai segi dari “sinodalitas yang hidup” dari gereja-gereja lokal seturut konteksnya masing-masing (Perjalanan, Mendengarkan, Membicarakan, Merayakan Doa dan Liturgi, Bertanggungjawab dalam Misi, Dialog Gereja dan Masyarakat, Dialog dengan Denominasi Kristen lainnya, Kewenangan dan Partisipasi, Memahami Keputusan, Membina Diri dalam Sinodalitas).
Kesepuluh pokok tematik ini dijabarkan dalam berbagai pertanyaan yang mengundang umat dari berbagai lapisan untuk berdiskusi dan berefleksi bersama, bertukar pendapat dan mencari serta mengusulkan solusi yang tepat sesuai dengan situasi setempat yang berbeda-beda (lihat Dokumen Persiapan n.30). Sintesis dari refleksi di masing-masing provinsi Gerejawi atau keuskupan ini harus sudah masuk ke sekretariat Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) pada 29 Juni 2022 karena akan dirangkum menjadi Sintesis Gereja Indonesia dan diserahkan untuk dibahas pada tingkat kontinental se-Asia pada 15 Agustus 2022. Pada bulan Maret 2023 direncanakan telah tersusun dokumen final dari ketujuh wilayah kontinental untuk menjadi dokumen kerja yang akan dibicarakan pada Sinode para Uskup di Roma pada bulan Oktober 2023.
Sinode Lokal dan Musyawarah Pastoral
Sambutan umat rupanya sangat menggembirakan, sebagaimana nampak dalam foto-foto di group WA nara hubung yang bersama para pastor paroki langsung mengadakan sosialisasi sinode lokal ini di tempat masing-masing. Antusiasme ini saja sudah menunjukkan kerinduan umat untuk disapa, untuk berjalan bersama-sama lagi, untuk didengarkan dan mendengarkan. Situasi pandemik telah mengubah wajah Gereja kita. Perayaan dan perkumpulan yang terus dibatasi dan dikontrol secara ketat untuk mengendalikan lajunya penularan virus Corona, bukan hanya meninggalkan kecemasan dan ketidakpastian terus menerus, tetapi juga membawa efek kelembaman, sulit bergerak lagi karena sudah terbiasa “diam di rumah.”
Umat yang mau menjadi satu paguyuban yang hidup membutuhkan satu perjumpaan, karena tanpa dinamika keluar dari ketersembunyian sendiri untuk bertemu dengan yang lain, tidak ada persekutuan, partisipasi dan perutusan. Gereja-gereja lokal kita barangkali sudah rindu akan keakraban seperti dahulu, ketika semua kelompok digiatkan dalam Musyawarah Pastoral, yang puncak perayaannya tidak jadi dilaksanakan karena kepergian Bapa Uskup, alm. Mgr. Martinus Dogma Situmorang pada 19 November 2019. Undangan untuk berjalan bersama dalam satu sinodalitas menyongsong Sinode Uskup XVI itu membangkitkan kembali gairah umat yang sempat hampir dipadamkan oleh situasi dunia yang dilanda pandemi Covid-19. Sadar bahwa ada PR yang belum selesai, kita mau meneguhkan kembali semangat untuk “berjalan bersama” dalam proses yang sudah dilalui dalam persiapan Muspas dua tahun yang lalu. Dinamika perjalanan ini sendiri sebenarnya sudah merupakan buah hasil sinodalitas gereja: umat dari berbagai lapisan yang terlibat aktif untuk berkumpul dan berbicara, saling mendengar dan saling meneguhkan.
Perjalanan dan Peziarahan
Kiranya bukan satu kebetulan juga bahwa gerak dinamika umat menanggapi ajakan sinode ini seiring dengan berakhirnya tahun liturgi yang lama dan mulainya masa Adven sebagai pembukaan tahun liturgi yang baru. Tahun baru liturgis kita berlangsung bukan hanya perayaan yang lewat dalam sehari dan semalam saja. Tahun baru umat Katolik berlangsung sebagai satu perjalanan selama empat minggu dalam penantian dan harapan menyongsong kelahiran Sang Juruselamat, mempersiapkan diri untuk menyambut Allah yang hadir dalam sejarah kemanusiaan pada puncak perayaan malam Natal. Mengapa dikatakan demikian? Sejarah umat manusia itu pun satu perjalanan, satu peziarahan panjang untuk mencari terang yang sejati. Penulis surat kepada umat Ibrani mengatakan dengan jelas: “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta. Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan.” (Ibr. 1:1-3)
Gereja sendiri pada dasarnya berada dalam perjalanan, dalam peziarahan bersama umat Allah seluruhnya menuju pada kepenuhan kemuliaan Tuhan itu. Tahun Liturgi yang baru kita masuki ini membantu kita untuk lebih dalam lagi menghayati tema peziarahan tersebut. Injil Lukas yang akan mendampingi kita dalam perayaan liturgi tahun C ini barangkali adalah injil yang paling menggarisbawahi aspek perjalanan ini. Sejak di halaman-halaman pertama Injil ditampilkan tokoh-tokohnya yang bergerak dalam perjalanan: Maria yang berjalan melintasi pegunungan Yudea untuk mengunjungi Elisabet (lihat Luk. 1:39-40), Keluarga Kudus yang harus pergi berjalan dari Nazaret di Galilea ke Yudea untuk mengikuti sensus penduduk (lihat Luk. 2:4), dan pada waktu itulah Yesus dilahirkan, sebagai anak yang lahir dalam perjalanan, “karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan” (Luk 2:7).
Sejak lahirnya, Putera Allah sudah menjadi senasib dengan kaum migran, bahkan dengan mereka yang tidak mempunyai rumah dan ditolak di mana-mana. Akan tetapi, justru melalui Sabda yang menjadi daging ini, Allah justru tampil lebih dekat dengan kemanusiaan kita. Allah hadir dalam sejarah umat manusia yang penuh dengan perjuangan dan penderitaan, bahkan kegelapan seperti situasi pandemik yang tak kunjung selesai ini, tetapi juga sejarah kemanusiaan yang tetap mengandung secercah harapan dan terang, melalui kelahiran anak yang selalu membawa sukacita yang baru. Dalam diri Yesus inilah, “Allah telah melawat umat-Nya” (Luk. 7:16). Wajah Allah yang senantiasa berjalan, yang setia mengiringi perjalanan umat-Nya, nampak dalam pribadi Yesus yang dekat dengan orang-orang yang lemah, yang miskin dan berkesusahan, yang berdosa dan disingkirkan. Yesus Putera Allah dilahirkan seperti kita, menjadi sama saudara kita, justru untuk mengajar kita menjadi semakin manusiawi dan dengan demikian lebih mengenal Allah yang begitu mencintai manusia dalam kerapuhan dan keterbatasannya.
Yesus mengajar kita berjalan bersama Dia menuju Yerusalem, menuju pemenuhan tugas perutusan yang diterima dari Bapa-Nya. Dalam partisipasi pada arus belaskasihan Allah inilah Gereja diundang untuk berjalan bersama sepanjang tahun liturgi yang baru ini. Marilah kita menyambut ajakan Bapa Suci untuk menyongsong Sinode Para Uskup Sedunia yang ke-16 itu dengan semakin menjadi Gereja yang berjalan bersama, saling mendengarkan dan meneguhkan, saling mengampuni dan mengasihi, sehingga kita menjadi semakin guyub bersatu, semakin aktif ambil bagian, dan semakin sadar akan panggilan perutusan kita. ***