Saya berharap setelah pemberkatan bangunan gereja di Stasi Lubaga, umat Katolik sungguh memanfaatkannya. Gereja ini menjadi tempat menyampaikan dan menaikkan puji-pujian kemuliaan Tuhan. Nabi Salomo mendirikan Bait Allah, namun Nabi Daudlah yang membangun umat Allah. Sebelum Bait Allah dibangun, Nabi Daud telah mendidik dan membagi umat dalam kelompok-kelompok koor. Mereka berlatih koor sebelum Bait Allah, rumah Tuhan dibangun. Begitupun di Lubaga ini, sebelum pemberkatan gereja ini, umat di sini sudah berlatih bernyanyi, bahkan sampai hafal lagu “Gereja Bagai Bahtera”. Sebuah lagu yang cukup sulit, namun sanggup dihafal anak-anak di sini.

Saya merindukan, pemberkatan dan peresmian gereja di tempat lain di Kepulauan Mentawai dapat berlangsung dalam suasana dan nuansa inkulturatif. Dalam kebhinekaan, penting juga untuk tetap menjaga dan mempertahankan budaya sendiri (budaya Mentawai) agar tetap lestari. Namun, saya juga berharap umat Katolik Mentawai tetap merasa menjadi bagian tidak terpisahkan dengan Gereja Universal dengan tata perayaan yang baru.
Saya gembira dengan umat yang membangun gereja di Lubaga ini mirip dengan rumah atau uma Mentawai. Suatu tanda dan pesan penting, bahwa keluarga menjadi hal dan bagian penting dalam budaya Mentawai. Nilai-nilai kekeluargaan harus dijaga dan dipertahankan. Penanaman dan pendidikan nilai-nilai bermula dari dalam keluarga. Maka keluarga menjadi tempat menebar benih nilai yang baik dalam iman dan kebudayaan kita. Sekolah dapat ikut membantu dalam proses ini. (hrd)

 

Disarikan dari homili Mgr. Vitus Rubianto Solichin, SX
di gereja Stasi St. Yohanes Pembaptis Lubaga, Paroki Betaet, Kep. Mentawai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *