Setelah dicanangkan pelaksanaan Sinode Keuskupan Padang, ada paroki yang bergerak cepat, menyusun perangkat, menyusun dan program melaksanakan program. Paroki yang bergerak cepat ini, mau berjalan bersama sehingga tidak ketinggalan dengan paroki-paroki lain. Meski begitu, ada juga paroki yang terkesan adem ayem, lebih asyik dengan program yang telah disusun sebelumnya, sehingga sinode ditempat sebagai “ekstra kerja”.

Pembukaan Sinode Paroki St. Barbara-Sawahlunto berlangsung dalam Perayaan Ekaristi yang dipersembahkan Pastor Paroki RD. Frelly Pasaribu, , di gereja pusat paroki, pada Minggu Biasa XXIX, Minggu (17/10). Dalam waktu bersamaan, enam stasi (selain stasi pusat) di paroki ini juga membuka sinode dengan Perayaan Sabda. Sebagai tanda pembuka sinode, di setiap tempat dibacakan Surat Gembala Uskup (SGU) oleh pemimpin ibadat.

Bacaan Kitab Suci pada waktu ini, dari Rasul Yakobus dan Yohanes sungguh tepat dengan semangat SGU, yakni ‘siapa yang ingin menjadi terbesar hendaklah menjadi pelayan’. Setelah pembukaan di pusat paroki dan stasi, sejumlah upaya dan langkah dilakukan, yakni: (1) mengadakan pertemuan tingkat stasi, (2) pembahasan agar umat stasi ‘berjalan bersama’ untuk membangun Gereja yang Mandiri dan Berbuah. Pertemuan dilakukan pada malam hari karena umat banyak beraktivitas pada siang hari. Namun, ada juga stasi yang menyelenggarakanya usai Perayaan Ekaristi maupun Perayaan Sabda. Untuk membantu tugas nara hubung, dibentuk tim yang melibatkan para ketua stasi, ketua koordinator wilayah, dan tenaga katekis lainnya. Tim ini dipandu pastor paroki dan frater yang menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP).

Hingga awal Desember (1/12), berlangsung kegiatan di empat dari tujuh stasi. Tiga stasi lainnya masih menyusun bentuk laporannya ke nara hubung paroki. Dua atau tiga stasi telah melaksanakan pertemuan kedua. Direncanakan, di setiap stasi berlangsung minimal empat hingga lima kali pertemuan dengan tema berbeda. Stasi yang telah menyelenggarakan pertemuan yakni: Stasi St. Anastasya-Sikabau, Stasi St. Maria Ratu Rosari-Sungairumbai, Stasi St. Yohanes Pembaptis-AWB (perkebunan sawit), dan Stasi St. Paulus-Sungaitambang.

Tiga stasi lainnya (Solok, Sijunjung, Sawahlunto) laporan masih dalam tahap penyusunan sehingga belum dikirim ke paroki. Bertepatan dengan pertemuan pendalaman iman masa Adven, pastor paroki menganjurkan agar ‘disisipkan’ juga pertemuan terkait sinode, apalagi tema-tema sinode cukup berkaitan dengan pendalaman bahan Adven. Mungkin ada yang beranggapan satu pertemuan yang sarat dengan materi/bahan untuk keperluan Adven dan sinode. Kalau untuk membahas materi yang begitu banyak dan sulit dimengerti, umat akan jenuh dan merasa hambar atas pertemuan tersebut. Maka, kami berinisiatif, minggu pertama membahas pendalaman bahan Adven, minggu kedua pendalaman bahan sinode. Demikian seterusnya, berselang-seling sehingga bervariasi dengan harapan tidak menimbulkan kebosanan bagi umat.

Pada setiap pertemuan sinode di stasi, sebelum bahan telah disosialisaikan kepada pengurus stasi agar lebih berinisiatif dalam pembahasan dan melaksanakannya dalam bahasa yang sederhana. Tujuannya agar umat sungguh memahami dan melaksanakannya. Jujur, setelah kami membaca bahan-bahan sinode, ternyata sungguh “luar biasa” bahasanya, dirasakan agak tinggi dan sulit dipahami umat. Syukurlah pastor, frater TOP, dan beberapa anggota tim telah menyederhanakan bahan itu sehingga lebih mudah dipahami umat. Selain pertemuan sinode teritorial, di paroki Sawahlunto juga dilangsungkan pertemuan sinode kategorial; bagi kalangan Orang Muda Katolik (OMK), Bina Iman Remaja (BIR), dan Bina Iman Anak (BIA).

Dari pertemuan di beberapa stasi, umat antusias membahas bahan/materi sinode dengan sungguh-sungguh. Sebuah pesan dalam sinode tingkat stasi umat datang dan berkumpul, berefleksi menemukan sesuatu yang unik dan baru, bekerja sama sehingga membuat hati umat senang dan sungguh diperhatikan. Dalam hal ini, tim dari Paroki St. Barbara-Sawahlunto mengambil sebuah tema “Seorang Sahabat Akan Menaruh Kasih Setiap Waktu dan Menjadi Saudara Dalam Kesukaran”.

Sebelumnya, terutama dalam masa pandemi Covid-19, juga ada pertemuan terbatas di stasi untuk pendalaman Kitab Suci, pembinaan iman, berdoa Rosario. Pertemuan tatap muka ini dengan protokol kesehatan (Prokes). Kami tidak pernah melaksanakan pertemuan virtual, semacam video conference atau Zoom Meeting. Dari 10 pertanyaan panduan, kami mengambil dua saja yang sungguh aktual di stasi atau paroki, yakni topik “Berbicara” dan “Mendengarkan Dengan Hati”. Karena begitu mendengar sesuatu yang baru, umat antusias ingin mengetahui lebih lanjut. Peserta pertemuan rata-rata lebih sepuluh orang, di stasi tertentu lebih dari 20 orang. Di antara umat yang hadir ada menyatakan diri termasuk ‘kalangan dipinggirkan’. Mereka ini telah bercerai lama namun tidak mau pindah ke agama lain-tetap Katolik-sehingga rindu menerima Ekaristi. Ada pula umat yang secara ekonomi lemah (miskin) dan merasa disepelekan, tidak diperhatikan.

Satu hal menarik pada pertemuan di stasi yang mayoritas orang Batak. Semua peserta berbicara dan ambil bagian. Mereka tampak pantang untuk tidak ngomong, proses pertemuan terasa dinamis dan hidup. Kehadiran tim lebih banyak mendengar, mencatat, dan memberi peneguhan. Jika ada pastor atau frater, diberi kesempatan untuk memberikan peneguhan.

Dari pengalaman saya, untuk pelayanan ke stasi dan pembahasan bahan sinode ada sejumlah kendala, misalnya letak geografis antarstasi (bisa mencapai seratus kilo meter), keterbatasan komunikasi dengan pengurus stasi untuk mendapatkan waktu yang tepat – karena jam kerja dan kelelahan yang dialami. Namun, sejauh ini, tim paroki sungguh menikmati dan selalu dimotivasi pastor maupun frater. Di pusat paroki, data juga belum dikumpulkan karena saat ini berlangsung rehabilitasi bangunan. Lagi pula, di Sawahlunto, pusat paroki, pemerintah kota masih ketat pembatasan aktivitas dengan pengumpulan sejumlah orang pada satu tempat. Pemda setempat khawatir dengan timbulnya klaster baru Covid-19. Kalaupun ada pertemuan, dibatasi jumlahnya pada satu tempat. Anak-anak di bawah sepuluh tahun dan orang lanjut usia di atas 60 tahun belum diizinkan ikut serta. Meski begitu, adakalanya di antara umat yang keras kepala, ngeyel, kurang mematuhinya sehingga melaksanakan pertemuan. (hrd)

 

Aloysius Gonzales Leu
Nara Hubung Sinode Paroki Santa Barbara, Sawahlunto
Penyuluh Agama Katolik Kabupaten Dharmasraya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *