Salam belas kasih! Saudari dan saudara umat sekeuskupan Padang dan para pembaca Gema yang budiman, ajakan Bapa Suci Paus Fransiskus untuk bersinode di tengah masa pandemik yang masih belum tuntas ini sebenarnya satu hal yang penuh resiko. Namun, sangat mengesankan mendengar dan menyaksikan geliat umat di berbagai paroki dalam menanggapi seruan untuk berkumpul dan bersinode, untuk berjalan bersama dengan belajar mendengar dan berdiskusi. Rasa rasanya memang sudah rindu kita untuk berjumpa kembali dan bermusyawarah seperti sebelum masa pandemik. Jadi tidak salah undangan dari Bapa Suci untuk menyongsong Sinode Para Uskup tahun 2023 itu dengan berangkat dari bawah, dari masing-masing keuskupan dan komunitas basis setempat.
Gereja sebagai Paguyuban Umat Beriman
Seorang teolog wanita, Margareth Hebblethwaite dengan pengalaman kerja di dunia ketiga menegaskan melalui bukunya (Basic is Beautiful: Basic Ecclesial Communities from Third World to First World, London 1993) bahwa Komunitas Gereja Basis bukanlah monopoli diskusi dalam Gereja-gereja di dunia ketiga, tetapi justru dapat menjadi sumbangan alternatif untuk pelaksanaan hidup menggereja yang baru di seluruh dunia. Menurut Hebblethwaite, komunitas basis merupakan sel dasar Gereja. Dalam pemahaman biologis, sel adalah bagian terkecil dalam tubuh mahluk hidup. Demikian juga komunitas basis merupakan unit terkecil dalam tubuh Gereja. Seperti halnya sel hanya dapat tumbuh dalam tubuh, demikian pula komunitas Gereja basis hanya akan tumbuh bila berada dalam tubuh Gereja. Sebagaimana daya kerja sel, komunitas basis juga mampu menghidupkan dan membawa perubahan bagi tubuh Gereja. Sebuah sel dalam tubuh tidak pernah berdiri sendiri, melainkan bergantung satu sama lain membentuk jaringan. Di dalam jaringan tersebut sel-sel saling terkait dalam kesejajaran. Gambaran ini dipakai untuk menunjukkan bahwa di antara komunitas Gereja basis sebagai sel Gereja ada keterkaitan satu sama lain. Jaringan jaringan komunitas Gereja basis itulah yang pada gilirannya membentuk Gereja.
Gambaran komunitas basis semacam ini menunjukkan bahwa Gereja sebagai kumpulan orang-orang beriman tidak bergerak sendiri sendiri, melainkan sebagai umat beriman dalam satu paguyuban. Gereja bukanlah sekedar kumpulan umat, massa tanpa nama, melainkan umat yang berpadu untuk menghayati iman bersama; bukan semata-mata dengan cara devosional, kultis dan privat, tetapi paguyuban yang berjuang bersama-sama untuk menggeluti hidup dan mengungkapkan iman mereka. Di dalam proses itu tercakup kesatuan dengan Allah, dengan sesama manusia, dan dengan realitas sejarahnya. Maka, perhatian utama Gereja Basis adalah praksis hidup beriman. Menurut Hebblethwaite, menjadi anggota Gereja berarti bergabung dalam suatu komunitas basis. Demikian sebaliknya, ikut terlibat dalam Gereja basis berarti juga menjadi terlibat dalam tubuh Gereja secara keseluruhan. If the Church is to be a community, it must be small; if the community is to be for everyone; it must be local.
Hebblethwaite menawarkan wujud alternatif komunitas basis sebagai suatu realisasi diri Gereja sebagai komunitas yang mau terbuka untuk semua orang dengan cara menjadi lokal dan memilih yang kecil. Dalam pendekatan semacam ini dapat dijamin relasi personal yang tidak dapat diharapkan dari tatanan global yang pendekatannya otoritatif. Model komunitas basis adalah jawaban yang komprehensif untuk mengembangkan kehidupan Gereja. Gerakan-gerakan dalam tubuh Gereja seperti perseku tuan doa dan karismatik hanya mampu menjawab kebutuhan umat secara parsial bila tidak diintegrasikan untuk menyokong pertumbuhan komunitas Gereja basis. Sebagai paguyuban, komunitas Gereja basis mencoba menempatkan masing-masing pribadi yang terlibat di dalamnya sebagai subyek. Oleh karena itu anggota komunitas basis idealnya tidak terlalu besar. Imam yang terlibat di dalamnya berfungsi sebagai animator. Dengan demikian dihindari pendekatan yang hirarkis dan feodal. Maka dari itu komunitas Gereja basis sering disebut wujud Gereja dari bawah, mewujudkan Gereja dari hidup umat sendiri, berpusat pada umat setempat dan menekankan kebersamaan umat untuk berkumpul, berbincang-bincang sampai membuat penegasan atau komitmen bersama. Wujud Gereja semacam inilah yang dapat diharapkan menjadi kesaksian hidup kristiani yang efektif di tengah masyarakat lingkungan sekitarnya.
Komunitas Basis sebagai Wajah Gereja Masa Depan
Karl Rahner, salah seorang teolog besar Konsili Vatikan II, pernah menulis bahwa dalam kesadaran baru akan Gereja yang semakin terlibat dalam arus global menjadi Gereja sedunia, pendekatan yang melulu dari atas rupanya tidak memadai lagi. Kaitan antara ajaran resmi Gereja dan kenyataan di tingkat dasar tidak lagi dapat dicapai secara efektif dengan sarana-sarana yang di masa lalu dipandang cukup. Maka, ia menekan kan perlunya suatu perencanaan pastoral baru untuk menghadapi tantangan Gereja sedunia. Gereja harus merencanakan dirinya dan masa depannya secara baru. Agaknya cara paling berani untuk mengetengahkan suatu kebijakan metodologis baru dalam teologi sistematik dan pastoral Gereja adalah dengan “turun ke bawah”. Gereja masa depan akan menemukan wajahnya yang baru dalam kelompok-kelompok basis yang dapat diharapkan menjadi pelaksanaan realisasi diri Gereja sebagai sakramen di masa depan (lihat K. Rahner, “Perspektif Pelayanan Pastoral,” dalam Seri Pastoral no. 144, Yogyakarta: Pusat Pastoral, 1988, hlm. 4-25).
Pandangan Karl Rahner mengenai pentingnya komunitas basis dalam kaitan dengan tulisan Hebblethwaite menarik untuk disimak. Rahner menyebut situasi yang menuntut strategi pastoral baru dewasa ini sebagai situasi diaspora yang menyeluruh dalam Gereja. Umat kristiani di mana-mana hidup dalam suatu diaspora, sedemikian sehingga bahkan dalam kelompok kelompok yang setia pada magisterium Gereja, kehidupan sebagai orang-orang Katolik yang tekun dan berdedikasi sering hanya dapat diamati pada minoritas kecil saja. Keadaan seperti ini menurut Rahner dapat ditemukan tidak hanya di tanah misi, melainkan juga di antara umat Kristen tradisional. Umat Katolik diaspora itu berbicara dengan bahasa lingkungan mereka yang sering amat profan. Maka, Gereja dituntut untuk menemukan bahasa yang bermakna, yang dapat dimengerti oleh lingkungannya yang semakin kompleks.
Perspektif pelayanan pastoral dalam situasi Gereja diaspora semacam itu menuntut kebijakan dan metodologi baru yang lebih mampu menghubungkan refleksi teologis sistematis dengan praksis pastoral di lapangan. Menurut Rahner, pada umumnya orang kristiani meng anggap bahwa Gereja di masa mendatang akan tetap seperti Gereja yang sekarang ada dengan struktur sosial yang sama, yang tak dapat dirusakkan karena “sesuai dengan kehendak ilahi.” Tetapi Rahner meramalkan bahwa pada masa depan Gereja harus dan akan tampak sangat berbeda dari penampilan luarnya dibandingkan dengan apa yang biasa kita lihat sekarang. Dengan mengingat kenyataan pluralitas kontekstualnya dan peranan besar kaum awam yang semakin lama semakin penting dalam Gereja, Rahner merasa pasti bahwa strategi pelayanan pastoral baru yang siifatnya menyeluruh harus mulai dipikirkan.
Satu wujud alternatif didapatkan dari gambaran tentang komunitas-komunitas basis ini. Bagi Rahner setiap komunitas kristiani harus menjadi komunitas basis (lihat K. Rahner, “Basic Communities”, dlm. Theological Investigations, vol. XIV, London 1979). Tetapi menurut Rahner wajah Gereja sekarang ini masih lebih terlihat sebagai komunitas dari sekelompok orang yang menempatkan seorang imam atau lebih untuk memperhatikan kebutuhan rohaninya. Umat sering berkumpul untuk mendapatkan pelayanan rohani saja. Wajah Gereja semacam ini bukanlah wajah yang mencerminkan wujud komunitas basis. Persaudaraan dalam komunitas basis menurut Rahner memang harus berakar dan berdasar pada lingkup wilayah tertentu. Mereka membentuk komunitas bukan untuk memenuhi kebutuhan rohani saja, tetapi juga mencoba secara bersama-sama mewujudkan Gereja di tengah dan dalam hidup mereka sehari-hari. Komunitas Gereja basis dengan demikian adalah komunitas yang mencoba membangun Gereja setempat.
Tumbuhnya komunitas-komunitas basis semacam inilah yang diharapkan oleh Gereja sekarang. Wajah Gereja masa depan menurut Rahner akan ditentukan oleh kehadiran komunitas komunitas basis ini karena wajah Gereja masa depan harus merupakan wajah Gereja dari bawah. Gereja perlu hidup secara aktual dan tidak tinggal dalam tataran ajaran saja. Gereja harus tumbuh dari inisiatif, kesadaran dan proses pengambilan keputusan yang dibuat oleh jemaat-jemaat setempat. Gereja yang berhadapan dengan arus globalisasi dan sekularisasi ini harus mampu mewujudkan diri secara sosiologis menjadi suatu komunitas konkret. Wajah Gereja semacam ini akan berbeda dengan wajah Gereja yang hidup selama ini, yang kesannya massal, institusional, dan tidak menghidupi keberagaman situasi diasporanya. Gereja masa depan diharapkan tidak menjadi Gereja kelompok elitis yang hanya bermuka rohani tanpa wujud sosiologisnya. Gereja harus menjadi milik umat.Komunitas basis terbentuk bukan dengan inisiatif dari atas, melainkan sebagai gerakan dinamis umat setempat yang tumbuh dari bawah.
Semoga undangan Bapa Suci Paus Fransiskus untuk bersinode dari gereja-gereja lokal dan komunitas komunitas basis setempat ini dapat menjadi pemenuhan realisasi diri Gereja masa depan yang mampu berjalan bersama, yang mampu mendengar suara dari bawah dan seruan dari pinggiran, yang lebih solider dan berbelarasa dengan perjuangan mereka yang miskin dan ditinggalkan di tengah masyarakat dunia modern. ***
+ Mgr. Vitus Rubianto Solichin