Pembukaan kembali seminari di Keuskupan Padang berimplikasi juga pada nama salah satu komisi keuskupan. Semula Komisi Kepemudaan menjadi Komisi Kepemudaan dan Panggilan dengan ketua P. Alfonsus Widhi Wiryawan, SX – sekaligus Direktur Karya Kepausan Indonesia (KKI) Keuskupan Padang. Karya pastoral di bidang panggilan ada dalam naungan Karya Kepausan Indonesia (KKI).
Kegiatan promosi panggilan (prompang) di Keuskupan Padang menjadi salah satu sektor (bagian) Serikat Kepausan Pengembangan Panggilan. KKI berkarya pada empat bidang: katekese, panggilan, Sekami, fasilitator/animator di paroki. Komisi Panggilan merupakan pengembangan dari KKI. Perihal panggilan, nantinya terintegrasi dalam program KKI untuk mengembangkan panggilan-panggilan.
Prompang bertujuan mengembangkan rasa cinta mendalam pada Gereja Katolik (Sensus Ecclesiae), menumbuhkan panggilan imamat dan religius, merancang skema/modul untuk menciptakan komunitas dan jaringan Sekolah Animasi Misioner dan Panggilan (SOMA-KKI) yang nantinya akan diformat dengan penyesuaian konteks di Padang. Tentu saja subjek pertama Sensus Ecclesiae ditumbuhkan pada anak-anak Sekami/Bina iman/Orang Muda Katolik-OMK/para profesional muda yang mencintai Gereja dengan talenta bakat yang diberikan Tuhan. Juga, pengembangan aneka kharisma yang telah diberikan Tuhan kepada setiap orang muda. Bidang panggilan adalah panggilan imamat, religius, dan hidup berkeluarga. Caranya: menguatkan kharisma dalam diri tiap orang untuk berkarya, membuat satu kelompok anak muda mengenali dirinya sendiri, menggali minat panggilannya, akhirnya menkonkritkannya dalam sebuah keputusan “Saya mau menjadi Imam”, atau “Saya mau menjadi Suster”.
Untuk merealisasikan pembukaan kembali seminari sejumlah langkah telah dan terus dilakukan, termasuk promosi bekerjasama dengan Komisi Kepemudaan, Komisi Komsos, KKI, dan terutama dengan para pastor paroki. Untuk promosi panggilan, para frater (Praunio) Keuskupan Padang di seminari tinggi Pematangsiantar dilibatkan, terutama berkaitan dengan kesaksian hidup dan pengalaman panggilan yang sudah diolah dan dibentuk dalam formasi. Dengan mereka pun, dirancang live-in panggilan di paroki-paroki yang disesuaikan dengan jadwal libur para frater serta kesediaan paroki setempat. Dalam live-in ini, para frater dapat berbagi kisah panggilannya dengan harapan dapat mengundang orang muda Katolik untuk juga menghidupi panggilan. Hal lain disiapkan adalah katekese, seminar, sharing, diskusi tentang panggilan. Pendalaman sejumlah tema panggilan dibuat untuk beberapa sharing diskusi maupun dalam bentuk video animasi kisah-kisah jawaban panggilan para pastor.



Target pertama di tahun pertama – untuk menghidupkan kembali seminari setelah vakum 30-an tahun – sekaligus ‘pemanasan’ adalah Retorika. Bukan seminari bagi lulusan SMP. Masa pendidikan di kelas Retorika ini selama satu tahun. Kelas retorika seminari di Pematangsiantar milik Keuskupan Agung Medan (KAM) tidak lagi menerima calon-calon imam dari keuskupan lain. Mau tidak mau Keuskupan Padang harus bergerak menyiapkan satu kelas sebelum mereka memasuki Tahun Rohani. Kelas Retorika ini akan menampung tamatan kaum muda tamatan SMA/SMK semua jurusan atau seminari lain yang masuk dari Keuskupan Padang, orang muda sudah bekerja/profesional, berusia maksimal 35 tahun. Setelah menyelesaikan pendidikan setahun, ‘alumni’ kelas Retorika bisa memilih masuk ke Keuskupan Padang menjadi calon imam diosesan, projo atau tarekat/kongregasi menjadi imam biarawan. (Syarat dan teknis penjaringan calon, lihat box!). Untuk membuka kelas Retorika ini telah dibentuk sejumlah tim dan sudah bekerja, yaitu: tim Seminari Nirmala, tim para frater di Pematangsiantar, tim khusus seksi panggilan. Tim khusus ini akan saling mengintegrasikan bidang pelayanan dan pastoral di kepemudaan, panggilan, dan KKI.
Terkait pembiayaan, untuk membuka seminari ini diibaratkan dengan rumah yang mau didiami, membutuhkan aset yang besar. Mesti berinvestasi dan menyediakan biaya operasionalnya. Kalau mau para calon imam di Keuskupan Padang berkembang jumlahnya – lewat pendidikan seminari ini – maka harus berani berinvestasi yang melibatkan banyak pihak, termasuk seluruh umat sekeuskupan. Kuantitas dan kualitas para imam yang dihasilkan di masa mendatang tergantung pada sejauh mana banyak pihak terlibat dalam proses pembinaan hingga akhirnya menjadi imam. Semua itu butuh kerja sama, apalagi saat ini bangunan pun masih peninggalan yang lama. Para formator (dosen dan pembimbing) sedang terus dicari.
Untuk pembiayaan para orangtua calon seminaris juga memegang peran penting. Sebagai bentuk tanggung jawab, para orangtua berkontribusi dalam pembiayaan. Umat jangan berpikir atau merasa, kalau anaknya masuk seminari berarti bebas dari tanggung jawab soal biaya.
Peran paroki (pastor paroki dan awam) selain memberikan rekomendasi bagi calon seminaris, bisa turut memberikan sumbangsih, terutama bagi calon seminaris yang keluarganya kurang mampu ekonominya. Keterlibatan paroki bisa dalam bentuk apa saja. Dana bisa dihimpun dari kolekte umat, sumbangan tidak bebas (tidak mengikat). Bisa juga berupa natura dari hasil alam. Sebagai contoh, kalau umat paroki berprofesi nelayan bisa menyumbang ikan atau hasil laut. Kalau umat berprofesi sebagai petani bisa berupa hasil kebun atau sawah. Jadi umat jangan merasa tidak bisa berbuat apa-apa untuk mendukung dan membantu pendidikan calon pastor.
Begitu juga keterlibatan para alumni sangat terbuka. Para alumni selain membantu biaya, sesuai dengan profesinya bisa membantu untuk memenuhi kebutuhan misalnya bidang studi (Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, IT, dan sebagainya), pengembangan diri (leadership, pengolahan diri/psikologi, religius, dan sebagainya). Pihak mana pun yang ingin terlibat bisa menghubungi saya. Untuk sementara waktu, saya dan P. Prian Doni Malau, Pr, sebagai formator yang ditunjuk Bapa Uskup. Para Pastor di Padang juga dilibatkan dalam pembinaan dan pengajaran. Lokasi seminari menempati bangunan lama Seminari Nirmala Padang. Sarana-sarana penunjang segera dilengkapi seiring berjalannya waktu agar layak dibuka pada Juli 2022. Dengan kerja sama dan dukungan semua pihak, diharapkan para seminaris dapat menjalani kehidupannya dengan seimbang: belajar/studi, berdoa, hidup berkomunitas/persaudaraan – tumbuh kerja sama, solidaritas, empati, pengenalan diri sendiri, dan berkontribusi terbaik untuk Gereja dan masyarakat. ***
Disarikan dari wawancara dengan P. Alfonsus Widhi Wiryawan, SX
Ketua Komisi Kepemudaan dan Panggilan
sekaligus Ketua Komisi Karya Misi Kepausan (KKI) Keuskupan Padang.
(bud/hrd)