Saya masuk Seminari Menengah Maria Nirmala Padang, pada Juli 1985, bersamaan dengan pendidikan di SMA Don Bosco Padang. Suasana kehidupan di seminari sungguh kompak, bersahaja, bersekutu dalam ikatan sesama calon imam. Terasa kental nuansa pembinaan (penyiapan) calon imam. Setiap hari, kami “wajib” mengikuti Misa dan membuat renungan harian bersumber dari Kitab Suci. Saya bertahan tiga tahun di seminari (1985-1988). Rektornya waktu itu P. Frans Halim, Pr. (alm) dan P. Yosef Carminatti, SX (alm). – rektor terakhir hingga akhirnya seminari ditutup. Dua pengawas awam, yaitu: Sutrisno dan Sugiharto. Saya dan empat teman seminaris (Martinus Suwarno, Mateus Tatebburuk, Emilius Sakoikoi, dan Marinus) adalah ‘angkatan terakhir’.
Secara teknis operasional, seminari ditutup enam bulan sesudah kami berlima dipindahkan ke asrama Santo Yusuf, Paroki St. Fransiskus Assisi Padang. Secara administratif, seminari ditutup tahun 1988. Saat dipindahkan kami sedih, merasakan masa kejayaan seminari berakhir. Pada dekade 1970-1980 adalah masa Seminari Maria Nirmala. Jumlah seminarisnya mencapai 30-an. Lambat laun berkurang. Akhirnya seminari ditutup. Mungkin suasana pembinaan di seminari dipandang kurang menarik, karena serba dibatasi, penuh disiplin, tidak bebas (serba izin). Bahkan ada yang beranggapan seminari mirip penjara. Pola hidup semacam ini tentu kurang disukai kaum muda. Hanya orang yang punya tekad kuat yang siap menjalaninya.
Kala itu, pendidikan formal para seminaris “dititipkan” di SMA Don Bosco dan SPG Xaverius Padang. Untuk masuk dua sekolah ini tidaklah mudah. Tidak semua seminaris mampu mengikuti standar pembelajaran. Ada ketentuan di seminari, bagi yang tinggal kelas otomatis dikeluarkan dari seminari. Tidak ada kesempatan mengulang. Mungkin ini menjadi faktor dominan semakin berkurangnya jumlah seminaris. Dua teman saya sesama seminaris tinggal kelas, langsung meninggalkan seminari.
Selepas dari seminari dan asrama putera Santo Yusuf, kami menapaki jalan hidup masing-masing. Marius dan Suwarno yang melanjutkan ke SPG Xaverius, kini menjadi guru di Kepulauan Mentawai. Mateus Tatebburuk dan Emilius Sakoikoi menjadi Imam Diosesan Padang.
Dibukanya kembali seminari di Keuskupan Padang, langkah sangat luar biasa. Mgr. Vitus yang berlatar belakang sebagai pembina, pendamping, pembimbing (formator) para Frater Xaverian tentu punya pemikiran matang. Seminari dibuka atas inistif sosok yang kompeten dan profesional di bidangnya.
Belajar dari pengalaman masa lalu – seminari ditutup – saya berpendapat keuskupan jangan takut dengan defisit anggaran. Seminari memang ladang yang menuntut banyak pupuk dan perawatan humanis untuk para calon imam yang menyedot banyak biaya. Jangan setengah hati kalau memang membuka kembali seminari. Mesti dengan penuh totalitas, berani ‘bertarung’ (fight) terutama menyangkut pendanaan.
Untuk mendukung rencana, keberhasilan, dan keberlanjutannya harus melibatkan orangtua seminaris dalam pembiayaan anak-anaknya. Orangtua tidak boleh ‘cuci tangan’ atau dipasrahkan begitu saja kepada keuskupan. Singkirkan sikap aji mumpung, ‘kesempatan dalam kesempitan’, misalnya anggapan: “… karena anakku sudah mau atau berniat menjadi imam, ya dibinalah! Semuanya saya serahkan pada otoritas seminari …” Orangtua seminaris harus merasa bangga dan ‘memiliki’ (sense of belonging) terhadap seminari. Rasa bangga itu mesti diikuti rasa tanggung jawab yang diwujudkan dengan menanggung biaya pendidikannya.
Saya berharap para formator tidak asal terima atau asal comot calon seminaris sehingga hasil akhirnya (output) imam tidak berkualitas. Mesti ada seleksi ketat melibatkan semua unsur; bermula dari paroki asal dan umat setempat. Saya membayangkan, pada saatnya, setiap calon seminaris diantarkan orangtuanya hingga pintu gerbang seminari dan mendapat kostum khusus berlogo Seminari Maria Nirmala. Prosesi ini tentu akan menjadi pengobat rindu atau kangen orangtua pada anaknya yang sedang menjalani pendidikan. Kostum ini sekaligus menjadi sarana promosi dan kebanggaan orangtua seminaris.
Mathias Haryadi
Mantan Seminaris kini warga Paroki St. Fransiskus Assisi, Padang.