
Nama saya Imsal Mikael Siribere. Saya bersyukur kepada Tuhan bisa bersekolah di sekolah favorit Padang. Kini, saya kelas X SMA Negeri 1 Padang. Saya berasal dari Dusun Simatalu Limu, Desa Simatalu, Kecamatan Siberut Barat, Kepulauan Mentawai.
Jalan ke situ, berawal dari pengumuman adanya program bantuan ADEM di sekolah saya, SMP Negeri 3 Simatalu di Simalibbeg, Kep. Mentawai. Tahun 2021-2022, saya lolos tes dan bisa masuk program itu. Saya salah satu dari 20-an peserta didik non Muslim. Saat SMP, saya ingin sekali bersekolah di luar Mentawai supaya mendapat pengalaman dan wawasan baru.
Setelah masuk sekolah favorit ini, benar banyak pengalaman baru! Teman-teman satu sekolah mayoritas Muslim. Sikap mereka bermacam-macam. Ada yang pengertian dengan agama saya dan tidak menyinggung-nyinggung agama dalam berteman. Baginya, agama urusan masing-masing. Tetapi ada pula teman, mungkin iseng atau serius menyatakan, “Imsal, koq mau Katolik?! Mendingan kamu masuk Islam saja! Di Islam, hidup kita berkah, bisa masuk sorga, dan suci.” Saya terkejut mendengar ucapan teman tersebut. Namun, dalam hati saya telah memegang prinsip bahwa agama yang benar adalah Katolik. Menghadapi teman yang demikian saya berusaha sabar. Saya menanggapi pernyataan itu dengan santai, “Syukurlah kalau agama Islam yang paling benar. Tetapi, bukankah dalam Islam juga ada ungkapan: ‘bagimu agamamu, bagiku agamaku’. Jadi jangan bandingkan agamaku dengan agamamu!”
Di antara sesama teman Muslim sendiri ada yang tidak setuju dengan sikap teman yang membandingkan agama tersebut. “Betul kata Imsal. Bagaimana kalau misalnya Imsal menyuruh kita masuk ke agamanya (Katolik-red.)? Tentu kita juga tidak mau. Demikian pula halnya dengan Imsal. Dia tidak mau masuk ke agama kita (Islam-red.)! Jadi, kita ini saling menghargai saja biarpun berbeda agama. Kita tetap berteman! Berarti Imsal tidak mudah goyah dan tetap setia dengan agamanya!” katanya.
Meski sama-sama di lingkungan sekolah (negeri) berbeda suasananya dengan di SMP di Simalibbeg yang peserta didiknya dominan beragama Katolik. Di kalangan guru, selain beragama Katolik juga ada guru Muslim. Kini, di SMA (di Padang), yang mayoritas pelajar Muslim dan semua guru beragama Islam, saya mengalami ada orang yang mengusik-usik agama temannya. Di lingkungan baru ini, ujaran atau pertanyaan dari guru dan teman mengenai agama (Katolik) bak makanan harian. Pertanyaannya biasanya seputar Yesus, Gereja, dan cara ibadah.
Dulu ada yang menarik perhatian saya. Di sekolah, kerap diumumkan (tepatnya himbauan) mengenai ketentuan pelajar perempuan berjilbab. Hanya saja, pelajar perempuan non Muslim tetap berseragam nasional, tidak berjilbab. Karena perbedaan busana ini, mudah dikenali pelajar perempuan Muslim dan non Muslim. Kini, pengumuman itu tidak ada lagi. Seorang anggota pengurus OSIS pernah menjelaskan kepada seorang guru mengenai tidak ada ketentuan berjilbab di kalangan Katolik. Sebenarnya kebijakan sekolah berlaku sama. Semua pelajar diperlakukan sama. Kalaupun di antara sesama pelajar, ada yang bersikap intoleran, saya merasa masih dalam batas wajar, tidak sampai merendahkan apalagi menyerang yang agama non Muslim. (hrd)