Sebagai warga Kota Bukittinggi selama sekitar tiga puluh dua tahun, Antonius Didik Triyanto merasakan benar perbandingan yang mencolok hubungan antarumat beragama di masa lalu dengan masa kini – terutama sepuluh tahun terakhir ini.
Didik melihat dan menilai, masyarakat Bukittinggi mengalami kemunduran dalam hidup bertoleransi. Salah satu sebabnya, karena munculnya paham radikal dari kelompok-kelompok agama Islam. Indoktrinasi dan dogma-dogma dari beberapa ustad yang mengkafir-kafirkan umat beragama lain, menimbulkan sikap kebencian terhadap umat beragama lain. Terlebih umat yang belum dewasa dalam iman mudah terprovokasi dengan paham-paham (radikal) seperti itu.
“Dahulu saya melihat dan mengalami, saat Natalan, Idul Fitri dan Imlek umat saling mengunjungi untuk bersilaturahmi. Namun, sepuluh tahun terakhir ini hal tersebut menjadi hal yang langka. Biasanya anak-anak juga saling berkunjung ke rumah temannya. Tidak hanya di kalangan pelajar, di kalangan guru pun demikian. Tetapi suasana seperti itu kini berubah bahkan nyaris tidak ada.” katanya.
Mengapa sikap intoleran itu menguat? “Menurut saya, tidak terlepas dari kelompok-kelompok yang mengatasnamakan dan memakai agama untuk mendapatkan popularitas. Bahkan agama menjadi lahan bisnis dan dijadikan sebagai sarana politis. Akhirnya, inilah yang terjadi. Tentu saja, hal ini menjadi resisten di kalangan penganut Muslim lainnya yang berbeda pandangan terhadap kelompok tersebut.” jawabnya.
Dalam perbincangannya dengan mantan Ketua FKUB Kota Bukittinggi, Prof. Ritonga (alm), Anggota Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) ini mendapatkan jawaban ternyata di kalangan Muslim sedang mengalami semacam ‘quo vadis‘ (hendak ke mana), berada di persimpangan jalan atau arah. Bahkan, Ritonga mengungkapkan rasa salutnya terhadap komunitas Katolik, salah satunya pengaturan seorang imam dalam melaksanakan tugas pelayanan dan kepatuhan terhadap hirarki. Menanggapi hal itu, Didik menyampaikan bahwa situasi yang dialami umat Islam sekarang ini juga pernah dialami dalam sejarah Gereja pada abad pertengahan. Kala itu di kalangan Gereja, semua urusan keagamaan juga menjadi sarana dan alat politik untuk mencapai keuntungan.
Meski mengalami kemunduran, upaya-upaya menjalin komunikasi dan toleransi demi kerukunan antarumat tidak boleh berhenti. Kita mesti tetap membangun dialog dan kerja sama dengan para tokoh yang berpandangan nasionalis dan moderat, yang menghargai perbedaan, dan menyadari serta menghargai manusia adalah sama di hadapan Tuhan. Contoh sederhana, saat Idul Fitri saya mengajak sejumlah awam dan pastor berkunjung ke rumah dinas Wali Kota dan Ketua DPRD dan Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Kota Bukittinggi. “Saya mengajak beberapa umat aktif dalam kegiatan FKUB sebagai kesempatan untuk membangun komunikasi dan relasi dengan umat beragama lain. Juga, yang tidak kalah penting adalah membangun silaturahmi dengan masyarakat sekitar tempat tinggal di tingkat Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW).” imbuhnya
Bagaimana di masa mendatang? Semakin menguat atau melemah? “Saya optimis dengan keberanian pemerintah membekukan organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam yang berhaluan radikal, kondisi akan lebih baik. Hanya saja, mesti diwaspadai di zaman global ini paham-paham radikal tidak bisa dibendung lagi. Di era globalisasi ini, semua orang mudah terpapar, terhasut dan terprovokasi dengan hal-hal yang tidak jelas akar permasalahannya, apalagi dengan media sosial yang semakin marak. Di masa lalu, pemberitaan di media massa dikontrol lembaga tertentu pemerintah. Sekarang beda. Setiap orang bisa bebas dan leluasa menyampaikan ide dan gagasanbta, yang kadang mudah ‘membakar’ seseorang maupun kelompok lewat pesan bersifat hoax, ujaran kebencian.’ jawab anggota Kelompok Sadar Keamanan Ketertiban Masyarakat Kepolisian Resor Kota Bukittinggi ini mantap.
Bagaimana Sumatera Barat?
Aktivis muda gerakan antarumat beragama Angelique Maria Cuaca bersuara kritis. Persoalannya ada pada tata kelola keberagaman. Di sadari atau tidak, praktik diskriminatif seperti dilegalkan dan muncul di dalam produk undang-undang maupun peraturan daerah. Kelompok besar – banyak jumlahnya merasa punya hak khusus. Sedangkan kelompok kecil mesti mengalah dan boleh perlakukan tidak adil. Inilah sumber perpecahan di tengah masyarakat.
Menurut Like – panggilannya, toleransi seolah-olah, kelompok kecil mesti mengalah bahkan dikalahkan. Contoh nyata di depan mata di kota Padang tentang pendirian rumah ibadah. Mesjid atau mushola di depan Gereja Katedral dan Vihara Padang. Itukah toleransi? Coba kalau sebaliknya? Perbedaan agama sesungguhnya bukanlah masalah. Kecuali ada pihak-pihak sengaja menjadikannya masalah. Sedari dulu, bangsa Indonesia memang beragam-ragam, namun ditautkan dalam satu kesatuan semangat pemersatu: Bhinneka Tunggal Ika. Hanya saja, ada oknum pemuka agama yang sulit menerima perbedaan, selanjutnya memengaruhi pola pikir dan bertindak jemaatnya.
Pendiri Komunitas Pemuda Lintas Agama (Pelita) ini menyayangkan kalangan jurnalis kurang memahami keberagaman, sehingga produk jurnalistiknya memprovokasi, tidak membuat keadaan lebih baik akibat menggunakan diksi tidak tepat. Maka tidak heran kalau menciptakan kondisi munculnya blok/kubu, warga enggan bertemu, berjumpa karena berprasangka negatif. Pasca reformasi 1998, politik identitas menguat, di Sumatera Barat ditandai dengan munculnya perda bernuansa keagamaan dan etnis. Begitupun dengan cara pandang pengambil kebijakan yang terlihat dari pernyataan yang melihat cara penanganan suatu permasalahan dari kaca mata satu agama maupun etnis.
Harus diakui, masih banyak di tengah warga belum memahami arti bertoleransi yang sesungguhnya. Sebenarnya, toleransi bermakna saling menghormati/menghargai, tidak terbatas pada kalangan mayoritas dan minoritas. Itu hanya istilah jumlah, tetapi tidak mengurangi dan menambah hak di depan mata hukum. Faktanya, saat konflik, pengambil keputusan lebih condong berat sebelah. Yang minoritas harus ikut keputusan mayoritas. Penyelesaian masalah menyangkut keagamaan menjadi ‘pedoman’ bagi masyarakat untuk memandang keberagaman. Toleransi jadinya dimaknai bila ada satu pihak merasa tidak terganggu dengan keberadaan kelompok lain serta membiarkan saja. Itu bukan bertoleransi, tetapi sikap tidak mau tahu. Namun, ketika dihasut dan terganggu akibat hasutan itu, muncul kebencian tersendiri yang sangat rentan dengan gesekan maupun berita hoaks. (hrd)
Diasuh oleh: Theresia Indriani Santoso, S.Psi., M.Si
(Psikolog, Pendiri SMART PSY Consulting Padang)