Pencanangan Tahun 2022 sebagai Tahun Toleransi oleh Menteri Agama (Menag) Republik Indonesia dilatarbelakangi oleh kesadaran negara ini bukanlah negara agama, melainkan beragama, serta masyarakatnya yang beragam latar belakangnya. Dalam konteks kehidupan masyarakat yang serba majemuk, heterogen, bermanca ragam ini butuh semangat toleransi untuk membangun bangsa dan negara ini. Bahkan, berdirinya negara ini pun karena adanya semangat toleransi para pendiri bangsa ini serta warga masyarakat. Sebenarnya, topik toleransi tidak baru muncul pada tahun 2022. Hidup penuh toleransi telah mendapat perhatian dan titik fokus di masa silam, dengan mendasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, khususnya pasal 29 ayat (1) dan ayat (2).
Pencanangan ini dimaksudkan agar warga bangsa bersama-sama membangun bangsa dan negara tanpa melihat aneka perbedaan latar belakang. Perbedaan tidak dipandang, apalagi ditempatkan sebagai ancaman, tetapi kekuatan. Siapa pun mereka bisa dan mesti berkontribusi dalam pembangunan bangsa demi kesejahteraan bersama. Pencanangan ini pun semata-mata dirasakan adanya ‘kerusakan toleransi’ antarumat beragama akhir-akhir ini. Hal ini tidak menjadi penyebab utama, walau memang bisa jadi merupakan salah satu faktor pendorong bagi Menag. Alasan lain, juga bukan pertama-tama bersikap reaktif terhadap permasalahan intoleran yang ada di negara ini, terutama pada waktu terakhir ini.
Pencanangan ini muncul karena kesadaran bahwa sedari dulu: semangat toleransi ada dan mesti tetap dipelihara untuk dilestarikan! Tak bisa dipungkiri, selalu ada pihak-pihak tidak senang dengan toleransi yang ada dalam realitas kehidupan. Ada kelompok yang ingin menggantikan ideologi bangsa Pancasila dengan ideologi lain.
Salah satu modal bertoleransi adalah moderasi kehidupan umat beragama. Moderasi berarti seseorang ‘hidup di tengah-tengah’, tidak condong atau ekstrim kiri maupun kanan. Dewasa ini, banyak orang/pihak terlalu tekstual, menafsir dan menganalisis sendiri agamanyalah paling benar/sempurna/lengkap. Seseorang bisa saja fanatik dengan agamanya, tetapi tidak mesti menjelek-jelekkan atau merendahkan agama lain. Jiwa toleran membutuhkan sikap kuat berintegritas, sekaligus mampu menghargai keberadaan dan nilai-nilai ajaran agama lain. Moderasi berarti tidak fanatik berlebihan sehingga membahayakan pihak (agama) lain. Orang yang fanatik berlebihan akan klaim seakan (agamanya) sebagai pemegang/pemilik tunggal kebenaran, sementara agama lainnya salah. Padahal, semua agama mengajarkan kebaikan yang bersumber dari Firman Allah yang ada dalam Kitab Suci.
Bagaimana toleransi di Sumatera Barat? Diakui, ada sejumlah persoalan di daerah ini. Dalam hal pembangunan rumah ibadah misalnya, tentunya sebagai warga negara mengikuti aturan yang ada, berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) Dua Menteri – sebagai payung hukumnya. Akan tetapi semudah itukah pelaksanaanya? Masih ada orang atau pihak-pihak tertentu yang seakan menghalangi upaya pembangunan rumah ibadah. Untuk mendapatkan penyelesaian atau solusi dilakukan dialog yang menghasilkan suatu keputusan. Itu pun tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Dalam konteks membangun kehidupan dan proses pembangunan, Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) Republik Indonesia Provinsi Sumbar, khususnya Bimbingan Masyarakat (Bimas) Katolik terus bermitra dengan Gereja. Kami di Bimbingan Masyarakat (Bimas) Katolik terus menjalin komunikasi dengan hirarki, terkhusus dengan Bapa Uskup. Pejabat Gereja dan pejabat pemerintah bisa turun, berada di tengah umat untuk bersama-sama mendengarkan masalah dan kebutuhan, seperti yang terjadi di Paroki Saibi, Kepulauan Mentawai baru-baru ini.
Khusus di Tahun Toleransi, kami melakukan beberapa kegiatan bersifat dialog yang dianggarkan pelaksanaanya. Dialog dengan mengundang narasumber dari berbagai pihak, dalam dan luar Gereja. Bahkan, boleh dikatakan, pencanangan Tahun Toleransi menjadi kesempatan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kota/kabupaten dan provinsi melaksanakan tugas, tanggung jawab, dan perannya. Agar tidak muncul kesan elitis, di kalangan tertentu saja, Tahun Toleransi ini hendaknya diketahui, dikenal, dan terlebih lagi diaplikasikan di tingkat ‘akar rumput’. Untuk hal ini, saya senang kiprah para pastor di paroki, pengurus wilayah/stasi/kring/lingkungan/rayon, serta para awam yang terlibat di tengah masyarakat (RT, RW, Kelurahan) yang selalu mendorong semangat dan sikap toleransi dalam kehidupan bersama, tidak hanya dalam konteks keagamaan namun juga sosial kemasyarakatan. Ada toleransi dalam telaah teologis, ada pula riil kehidupan bersama. (hrd)
Henrikus Jomi, S.Ag, MM
Pembimbing Masyarakat (Pembimas) Katolik Kantor
Wilayah Kementerian Agama RI Provinsi Sumatera Barat.