Dalam survei kecil-kecilan di media sosial kru GEMA pada 20 Maret 2022, berkaitan dengan Tahun 2022 Tahun Toleransi, masih banyak yang belum mengetahuinya. Hanya facebookers aktivis Gereja dan sosial kemasyarakatan menjawab tahu. Sebagian besar facebookers non aktivis menjawab tidak tahu. Apakah survei ini dapat menjadi patokan untuk mengukur kedalaman sikap toleransi. Entahlah!
Tokoh umat Katolik Paroki St. Fransiskus Xaverius-Dumai, Antonius Suharsono menyatakan tahu tentang pencanangan Tahun Toleransi. Bahkan pada tingkat Kota Dumai, melalui Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), sambungnya, beberapa kegiatan dialog kerukunan umat beragama diselenggarakan untuk menyambut moment ini. Namun, perayaan di tingkat paroki, belum ada rencana dan juga belum direncanakan.

Berkaitan dengan pengertian toleransi, Ketua RT 02 RW IV, Kelurahan Belakang Tangsi, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang, Yosep Paskalis, S.Pd. mengungkap realita di tengah masyarakat umum, tidak hanya di kalangan Katolik. “Dalam kenyataan, toleransi terwujud lewat peran yang dilakoni dan dilakukan yang menunjukkan sikap serta semangat saling menghormati, menghargai. Itulah bentuk toleransi, saat kita berperan di tengah lingkungan masyarakat yang majemuk. Tidak ada perasaan curiga, meremehkan orang lain,” ungkapnya.
Ketua Bidang Hubungan Antaragama Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kelurahan Belakang Tangsi ini mengakui ada anggapan lain mengenai makna toleransi yang memunculkan istilah mayoritas – minoritas (dalam jumlah). Yang pernah mencuat, toleransi berarti kalangan mayoritas melindungi, mengayomi kalangan minoritas. Yosep mengakui hal demikian tidak didapatkan dan terjadi dalam pergaulannya. Dalam pergaulan dengan teman Muslim, Kepala SMP Frater Padang ini melihat dialog mesti dilakukan untuk mengikis pemikiran negatif dan prasangka buruk. “Saya dapat diterima dalam pergaulan dengan yang berbeda agama, saya tidak mau bersikap eksklusif dan pilih-pilih orang dalam berteman,” tukasnya.
Sekretaris I Badan Pengurus Pusat (BPP) PSKP Santu Yusuf Keuskupan Padang ini mengaku tidak banyak terlibat dalam pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Rumah Ibadat di daerah ini. Memang, sambungnya, ada kasus tertentu yang sampai ke telinganya dan berpotensi mengancam toleransi hidup antarumat beragama. “Patut bersyukur, hingga kini, daerah ini (Padang – Sumatera Barat) tergolong aman untuk perayaan-perayaan keagamaan. Di LPM, kami pernah merencanakan perjumpaan para perwakilan umat setiap agama untuk duduk bersama dan berdialog. Hanya saja, karena kesibukan masing-masing, belum terlaksana. Lebih sulit lagi karena dalam situasi pandemi Covid-19.” katanya.
Sekretaris Umum LP3KD Provinsi Sumbar ini mengaku banyak membangun relasi dengan penganut agama lain di tingkat ‘akar rumput’. Di pasar misalnya, Yosep kerap mendengar celetukan para pedagang dan pembeli mengenai isu-isu baru dan keberpihakan mereka. “Saya dapati, kalangan bawah ini mudah sekali terprovokasi, karena berpatokan kesamaan emosi atau sentimen tertentu. Mereka sudah punya sisi pandang tersendiri,” ujarnya.
Sehubungan dengan posisinya sebagai kepala sekolah, Yoseph melihat pendidikan bertoleransi dapat diterapkan di lingkungan sekolah. “Nilai-nilai toleransi ditanamkan dalam diri peserta didik, apalagi di sekolah kami ibarat ‘Indonesia Mini’. Guru, kayawan dan peserta didik berbeda latar belakang (agama, suku, budaya, bahasa, dan ekonomi). Kami punya nilai inti (core value) yakni nilai yang harus dikembangkan, selain nilai kejujuran, kedisiplinan, berbela rasa, saling menjaga hubungan baik di kalangan murid dan guru,” tukasnya.
Menjaga Kerukunan
Secara terpisah, Sintua Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Padang, St. M. Siringoringo menyatakan dalam rangka Tahun Toleransi, di Sumatera Barat dilaksanakan beberapa kegiatan berupa diskusi, konsultasi, seminar yang dihadiri para tokoh agama, masyarakat, dan lembaga-lembaga keumatan. “Tahun Toleransi sangat penting untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia yang memiliki ragam suku, budaya, dan agama. Program ini juga salah satu cara menjaga keutuhan bangsa, Negara Kesatuan RI, apalagi setahun lagi (2023) akan memasuki tahun politik. Perlu kesehatian dari sewluruh warga bangsa agar tidak terjadi gesekan-gesekan yang mengganggu stabilitas nasional,” ucapnya.

Sehubungan Tahun Toleransi, sambung Siringoringo, umat Kristen Protestan – khususnya jemaat HKBP di Sumatera Barat – sangat mendukungnya. “Ini tugas dan tanggung jawab untuk menjaga kerukunan keutuhan ciptaan Tuhan. Umat HKBP selalu menjaga kerukunan di mana pun berada dan berdomisili, dengan tanpa menghilangkan identitas. Umat didorong maju sebagai garda terdepan dalam menjaga kerukunan dan ambil bagian dalam setiap kegiatan kebersamaan; misalnya kegiatan sosial di tempat masing-masing. Warga jemaat HKBP, harus menjadi berkat,” imbuhnya.
Fungsionaris Badan Kerjasama Kristen Protestan dan Katolik (BKKPK) Sumatera Barat ini menambahkan, “Para tokoh agama dan masyarakat harusnya menjadi pelopor toleransi! Diharapkan, ceramah dan khotbah mereka memberikan kesejukan, memberikan pemahaman pentingnya kerukunan sebagai sesama ciptaan Tuhan. Pemerintah juga diharapkan pemerintah bersikap tegas terhadap kalangan yang ingin mengganggu kerukunan dan toleransi.”

Umat Paroki St. Fransiskus Xaverius-Dumai, Maria Magdalena (47) mengisahkan pengalaman dalam mewujudkan sikap toleransi dan kerukunan. Tentang Tahun Toleransi diakuinya tidak tahu sama sekali. “Saya merasa terus ‘belajar’ bertoleransi. Dulu, sewaktu kecil, hanya keluarga kami yang beragama Katolik. Kala itu, perbedaan (termasuk agama) tidak menjadi penyebab timbulnya gesekan, tidak seperti sekarang ini. Media sosial gencar memberitakan tentang minoritas dan mayoritas. Sedikit banyak hal ini mempengaruhi sikap saya sehingga menjadi sedikit ogah dekat dengan yang ‘berbeda’ itu.” katanya.
Tapi syukurlah, lanjut Maria, masih ada setitik akal sehat dan mau membuka hati untuk merenungkan semua itu. “Kalau saya semakin menarik diri, kalangan lain tidak tahu, mereka tidak mengakui kita masih ada. Memang, terasa, sungguh mengerikan pengaruh media massa yang isi pemberitaannya provokatif. Kalau selalu hal negatif disuguhkan pasti akan menimbulkan pengaruh negatif pula. Harus ada media yang melawan pemberitaan negatif dengan berita-berita positif. Kalau hal positif tidak digaungkan, bisa jadi, topik toleransi dan kerukunan bakal ‘mati’ perlahan. “Akhirnya, perlahan saya pun membuka diri dan bergaul dengan mereka, sekaligus menyatakan masih ada. Orang katakan tidak dikenal tidak diketahui dan disayang,” ungkapnya.
Warga Lingkungan Santo Yohanes Paroki Dumai ini bersyukur bersekolah di lingkungan Santo Tarcisius sehingga mendapatkan pendidikan Katolik. “Keluarga kami yang serba minoritas (Tionghoa dan Katolik) sering mengalami perlakuan tidak mengenakan, misalnya dipanggil Cino. Sewaktu kecil, koko saya sering dipalak, sehingga ayah sering membawa parang menakuti anak-anak. Sewaktu SMP, saya kerap diejek dengan panggilan amoy. Terhadap panggilan rasis tersebut, saya pura-pura tidak dengar dan tidak mempedulikan, sehingga mereka capek sendiri,” tukasnya.
Warga Kelurahan Bumi Ayu, Kecamatan Dumai Selatan, Kota Dumai ini melanjutkan, “Karena kami sering mendapat perlakuan diskriminatif, orangtua sangat membatasi – bukan menutup – pergaulan kami dengan anak tetangga. Meski begitu, orangtua kami sangat baik dengan tetangga. Kalau ada tahlilan, ayah selalu ikut. Kalau Tahun Baru Imlek, rumah kami penuh dengan tamu, bahkan hingga tengah malam. Setiap tahun, kala itu, ketika Natal dan Lebaran Idul Fitri, kami saling bertukar kiriman. Namun, sejak ada larangan haram mengucapkan Selamat Natal, tidak ada lagi tamu non Katolik yang datang ke rumah.”
Walau demikian, sambung Maria, ada juga di antara mereka yang tidak mempedulikan pelarangan tersebut. Bahkan, ada yang langsung bilang Selamat Natal. “Terasa sekali dalam hati saya, mereka ikhlas mengatakannya. Memang, ada juga yang jaga-jaga bibirnya dan cukup salaman saja. Dua tahun terakhir, teman-teman dalam Komunitas Herbalife Nutrition bersilaturahmi ke rumah, tidak hanya lewat pesan singkat di smartphone. Itu terjadi setelah saya mulai membuka diri. Hanya saja, hingga sekarang, belum ada tetangga yang datang ke rumah saat Natal, meski hubungan sosial berlangsung baik. Akhirnya, saya menyimpulkan, kalangan yang terbatas pola pikirnya ibarat katak di bawah tempurung, tidak pernah merantau lebih sulit menerima kemajemukan agama yang dianut masyarakat.
Dari pengalaman hidup, Maria mengaku muncul perasaan sedih dan miris. Di tempat lain, masyarakatnya berlomba untuk maju, teknologi semakin maju, di sini malah pola pikir manusia mundur, bahkan tidak bisa menggunakan akal budi yang diberikan Tuhan. Terlalu sibuk mengurusi agama bahkan agama dijadikan alasan atau tameng. “Umat yang cethek pikir, hal yang tidak sesuai dengan kemanusiaan pun, kalau yang mengatakan tokoh agama yang dianggap tinggi ilmu agamanya, perkataannya ditelan mentah-mentah. Rancangan saya pribadi, tetap menjaga kewarasan dengan tidak mengonsumsi berita berbau negatif, berupaya bergaul dengan sesama dari kalangan mayoritas, menjaga mulut karena bisa berlanjut ke masalah hukum, berusaha bertindak berlandaskan ajaran kasih. Dengan demikian akan kelihatan kualitas umat Katolik,” katanya.

Lain pula pengalaman warga Stasi St. Yohanes Pembaptis, Paroki Keluarga Kudus-Pasaman Barat, Baginda Saman Lubis (36) yang mempraktikkan berbagai teori yang didapatnya di sekolahan, berkaitan dengan berelasi – bergaul dengan penganut agama lain. Baginda mencontohkan, di tingkat kampung, pada saat Idul Adha tahun silam (2021), dirinya mengajak warga Orang Muda Katolik (OMK) dan komunitas Kristen lainnya membantu kenyamanan umat Muslim salat di masjid, yaitu: membantu parkir, membagikan masker dan pemberian handsanitizer. Selain itu, sambungnya, ada upaya lain untuk menggalang toleransi dan kerukunan dalam bentuk dialog. “Tidak menganggap diri paling benar merupakan sikap dan semangat yang penting agar toleransi dan dialog terjadi. Hal ini sejalan dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, walau berbeda-beda namun tetap satu. Sejalan pula dengan kutipan Kitab Suci untuk mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri, maka selayaknya saya dan sesama saling ingin dan mau mengamalkan sikap toleransi,” tandasnya.
Lubis kurang setuju dengan pendapat toleransi itu yang mayoritas melindungi minoritas. Bertoleransi tidak selalu berarti demikian, karena toleransi dapat terjadi bila setiap individu bisa saling menghargai, menghormati, dan menerima perbedaan. “Toleransi tidak ada hubungannya dengan ‘siapa yang paling besar atau paling kecil’! Bertoleransi pada prinsipnya menjaga hubungan baik, terutama dalam tataran sosial. Masing-masing pihak tetap menjaga atau mempertahankan ajaran agama/akidahnya. Ada pemahaman keliru, seolah-olah dalam bertoleransi mencampuradukkan ajaran agama. Hal ini pun telah disadari tatkala negara ini dibangun (1945). Kala itu, para tokoh bangsa menyadari benar bahwa kebhinekaan dalam kehidupan bersama adalah modal untuk membangun bangsa.” imbuhnya.
Sekretaris Kring St. Yohanes ini melihat ada dua situasi/kondisi. Pertama, ada orang/penganut agama yang fanatik dengan ajaran agama namun melakukan kebaikan untuk sesama. Kedua, ada penganut agama yang fanatik, tetapi melakukan hal di luar ajaran agama, bahkan bisa jadi tidak melakukan apa pun. Itu berarti munafik. Lubis prihatin dengan faknta di beberapa wilayah di Sumatera Barat belum menunjukkan sikap toleransi. Hal itu ditandai dengan tidak mengakui kehadiran umat beragama lain yang dibuktikan adanya penolakan pendirian rumah ibadah.
Namun, Lubis menyambung, khusus di Ophir, Pasaman Barat warganya hidup bersahaja, berdampingan satu dengan yang lainnya. Pada saat tertentu, misalnya pesta nikah atau baralek, semuanya berbaur menjadi satu. Lubis menganalisa terjadinya berbagai kasus intoleran bisa merusak semangat toleransi dan kerukunan yang sudah terjalin selama ini. Sikap demikian, dilakukan kalangan yang belum memahami dan mendalami arti/makna toleransi. “Kalau bertoleransi, pasti menghargai perbedaan dan pendapat pihak lain. Hanya saja, hal ini tidak luput dari unsur politik dan kepentingan tertentu yang bercampur aduk.
Agama dijadikan ‘kendaraan’ bahkan tameng untuk mencapai tujuan. Bahkan agama dijadikan alat provokasi. Pihak ini, termasuk politisi (busuk), menyadari sentimen keagamaan sangat mudah digunakan mencapai keinginan. Pada dasarnya semua agama baik adanya, mengandung nilai kebaikan. Di tangan orang-orang yang tidak berkehendak baik, agama dijadikan alat sehingga bisa menjadi pemecah umat. Mereka melakukan provokasi dengan ujaran kebencian, menjelek-jelekan ajaran dan umat beragama lain. Hal inilah yang memprihatinkan akhir-akhir ini,” ungkapnya.
Kalau keadaan ini berlangsung terus hingga ke anak dan cucu di waktu mendatang, lanjut Lubis, akan dapat keharmonisan hidup di tengah masyarakat akan rusak. Dulu, perbedaan agama tidak menjadi suatu persoalan atau membatasi seseorang dalam bergaul. “Dua puluh tahun terakhir, terutama sejak awal era reformasi, ada upaya-upaya yang merusak toleransi. Sepertinya ada pembiaran dari pemerintah terhadap kelompok-kelompok intoleran. Benar anggapan gerakan reformasi seperti kehilangan rem dan kendali. Terlalu bebas. Sama halnya kalau seseorang menganggap dirinyalah yang paling benar, tidak pernah berbuat dosa, dan paling suci. Kita bersyukur pemerintahan saat ini lebih tegas. Ormas intoleran sudah dibubarkan. Tetapi juga sangat sampai lengah, karena secara ideologi tidak pernah mati” ujarnya.
Apa yang dapat dilakukan untuk menumbuhkembangkan semangat kerukunan, toleransi? Dari kalangan Katolik, tambah Lubis, mengacu pada kutipan Kitab Suci untuk mengasihi Tuhan Allah dan sesama manusia, serta ajaran Konsili Vatikan II. “Kita bisa mengajak umat beragama lain berbuat yang sama lewat contoh/teladan. Itulah yang telah saya praktikkan sehingga teman-teman Muslim pun ikut mempraktikannya juga. Umat Katolik mesti berinisiatif, memulai terlebih dulu berbuat baik, dengan harapan orang lain akan meniru perbuatan baik itu,” ucapnya mengakhiri. (hrd)