Salam belas kasih,
Saudari dan saudara umat se-keuskupan Padang dan para pembaca GEMA yang budiman, untuk Hari Komunikasi Sedunia ke-56 yang dirayakan pada 29 Mei 2022 ini Paus Fransiskus memilih tema: “Mendengarkan dengan Telinga Hati”. Setelah pesan Hari Komunikasi Sedunia tahun lalu yang memberi tekanan pada “pergi dan melihat”, dengan pesan kali ini Paus Fransiskus meminta umat untuk belajar mendengarkan lagi.
Pandemi Covid-19 telah banyak memengaruhi relasi kehidupan dan melukai semua orang. Banyak orang cenderung lebih mudah cemas dan takut, banyak orang butuh didengarkan dan dihibur. Dengan pesan Paus Fransiskus pada Hari Komunikasi Sedunia ke-56 ini kita justru diundang untuk mampu keluar dari diri kita sendiri, untuk lebih aktif mendengarkan dan menjadi solider dengan keprihatinan orang lain.
Mendengarkan dengan Telinga Hati
Dalam pesannya untuk Hari Komunikasi Sedunia ke-56 itu, Bapa Suci mengutip Santo Agustinus yang selalu mendorong orang untuk mendengarkan dengan hati (corde audire) untuk menerima kata-kata tidak hanya secara lahiriah melalui telinga, tetapi secara rohani dalam hati kita: “Jangan menaruh hatimu di telinga, tetapi taruhlah telinga di dalam hatimu.” (nolite habere cor in auribus, sed aures in corde, Sermo 380,1). Memang benar, kata “telinga” dalam bahasa Inggris (ear) berada tepat di tengah kata “hati” dalam bahasa Inggris (h-ear-t). Jika gambar sepasang daun telinga (kanan dan kiri) diletakkan berdampingan maka itu akan membentuk “hati”. Telinga adalah jalan menuju ke hati. Jadi, jika ingin hatimu bersih, jangan mendengarkan berita-berita yang berisi ujaran kebencian, gosip dan hasutan. Marilah kita membersihkan telinga hati kita dengan mendengarkan firman Tuhan.
Mendengarkan merupakan dasar untuk menemukan informasi yang baik. Pencarian kebenaran dimulai dengan mendengarkan. Demikian pula kesaksian melalui sarana komunikasi sosial. Setiap dialog, setiap hubungan dimulai dengan mendengarkan. Untuk dapat bertumbuh, bahkan secara profesional sebagai pengajar, pembina dan pendidik, kita perlu belajar kembali untuk banyak mendengarkan. Karena dialog tidak berarti menyangkal ide, gagasan dan tradisi kita sendiri, tetapi meminimalkan prasangka bahwa kitalah yang paling benar. Bapa Suci pernah mengingatkan hal ini juga dalam salah satu pesan pada Hari Komunikasi Sedunia di tahun 2014, “dialog itu berarti meyakini bahwa yang lain mempunyai sesuatu yang baik untuk dikatakan, dialog itu memberi ruang pada perspektif yang lain, pada usul-usul orang lain.” Itulah sebabnya, menurut Bapa Suci, komunikasi itu adalah satu prestasi yang terlebih utama manusiawi, bukan sekedar teknologis saja. Beliau suka mendefinisikan kekuatan komunikasi itu sebagai satu “kedekatan” antar sesama. Siapa yang berkomunikasi, juga melalui internet dan media sosial lainnya, menjadikan dirinya sesama bagi yang lain.
Yesus sendiri meminta kita untuk mawas diri dan menjadi sungguh-sungguh sadar bahwa mendengar itu satu karunia: “Karena itu, perhatikanlah cara kamu mendengar. Karena siapa yang mempunyai, kepadanya akan diberi, tetapi siapa yang tidak mempunyai, dari padanya akan diambil, juga apa yang ia anggap ada padanya” (Luk. 8:18). Tidak disebut dengan jelas oleh penulis Injil, “mempunyai” atau “tidak mempunyai” apa… namun sesudah mengatakan perumpamaan tentang benih yang ditaburkan sebagai lambang firman Tuhan itu, Yesus berseru: “Siapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!” (Luk. 8:8). Jadi, jelaslah yang dipakai sebagai kriteria yang menentukan cara kita mendengar adalah telinga hati, karena benih “yang jatuh di tanah yang baik itu ialah orang , yang setelah mendengar firman itu, menyimpannya dalam hati yang baik dan mengeluarkan buah dalam ketekunan.” (Luk. 8:15).
Untuk dapat benar-benar mendengarkan kita butuh keberanian dan kebebasan hati, keterbukaan tanpa prasangka. Saat ini ketika seluruh Gereja diundang untuk mendengarkan dan untuk belajar menjadi Gereja yang “sinodal”, yang berjalan bersama, kita semua diundang untuk menemukan kembali seni mendengar sebagai hal yang penting untuk satu komunikasi yang baik.
Mendengarkan Lebih dari Sekadar Mendengar
Sejatinya, dalam Pesan untuk Hari Komunikasi Sedunia ke-50 dalam rangka perayaan Yubileum Kerahiman pada tahun 2016, Bapa Suci sudah mengangkat tema “mendengarkan” yang dihubungkannya dengan Kasih Kerahiman Allah. Kasih, pada hakikatnya, adalah komunikasi; kasih mengarah kepada keterbukaan dan kesediaan untuk berbagi. Jika hati dan tindakan kita diilhami oleh kasih insani, kasih ilahi, maka komunikasi kita akan disentuh oleh kuasa Allah sendiri. Dalam pesannya, Paus Fransiskus sangat berharap agar cara berkomunikasi kita, seperti juga pelayanan kita sebagai gembala. Gereja, jangan sampai memberi kesan kekuasaan yang angkuh nan jaya atas seorang musuh, atau menistakan orang-orang yang dianggap sebagai pecundang yang mudah dicampakkan. Kerahiman dapat membantu meringankan berbagai kesulitan hidup dan memberi kehangatan kepada mereka yang hanya mengenal dinginnya penghakiman. Semoga cara kita berkomunikasi membantu mengatasi pola pikir yang dengan tegas memisahkan orang-orang berdosa dari orang-orang benar.
Bapa Suci menyadari bahwa sebagian pihak merasa bahwa visi tentang sebuah masyarakat yang berakar pada kerahiman adalah idealisme tanpa harapan atau kebaikan yang berlebihan. Tetapi beliau mengingat kembali pengalaman kita yang pertama tentang relasi, di dalam keluarga. Orangtua kita mengasihi kita dan menghargai kita karena siapa kita dan bukan karena kemampuan dan prestasi kita. Rumah keluarga adalah salah satu tempat di mana kita selalu diterima (bdk. Luk 15:11-32). Karena itu Paus Fransiskus mendorong setiap orang untuk melihat masyarakat bukan sebagai sebuah forum di mana orang-orang yang tidak saling mengenal bersaing dan berupaya tampil di puncak, tetapi terlebih sebagai sebuah rumah atau sebuah keluarga, di mana pintu selalu terbuka dan setiap orang merasa diterima.
Untuk mewujudkan hal ini, maka pertama-tama kita harus mendengarkan. Berkomunikasi berarti berbagi, dan berbagi menuntut sikap mendengarkan dan menerima. Mendengarkan bermakna lebih dalam dari sekedar mendengar. Mendengar adalah tentang menerima informasi, sedangkan mendengarkan adalah tentang komunikasi yang mensyaratkan kedekatan dan keakraban. Mendengarkan memungkinkan kita melakukan hal-hal yang benar, dan tidak sekadar menjadi penonton, pengguna atau pemakai yang pasif. Mendengarkan juga berarti mampu berbagi aneka persoalan dan keraguan, berjalan beriringan, membuang semua tuntutan akan kekuasaan mutlak serta mendayagunakan berbagai kemampuan dan karunia kita demi melayani kesejahteraan umum.
Mendengarkan bukanlah hal yang mudah. Acapkali lebih mudah untuk berpura-pura tuli. Mendengarkan berarti mengindahkan, kerelaan untuk memahami, menghargai, menghormati dan merenungkan apa yang orang lain katakan. Mendengarkan melibatkan semacam kemartiran atau pengorbanan diri, tatkala kita berusaha untuk meneladan Musa di hadapan semak bernyala: kita harus menanggalkan kasut kita ketika berdiri di “tanah yang kudus” perjumpaan kita dengan orang yang berbicara kepadaku (bdk. Kel 3:5). Memahami cara untuk mendengarkan adalah sebuah karunia yang besar, maka karunia itulah yang perlu kita mohonkan dan kemudian dengan segenap daya dan tenaga kita coba melaksanakannya.
Surat elektronik, pesan teks singkat, jejaring sosial dan percakapan daring (dalam jaringan, on line) dapat menjadi bentuk-bentuk komunikasi insani seutuhnya. Bukanlah teknologi yang menentukan apakah komunikasi itu asli atau tidak, melainkan hati dan kemampuan manusia untuk secara bijak memanfaatkan sarana-sarana yang dimiliki. Pelbagai jejaring sosial dapat memperlancar relasi dan memajukan kesejahteraan masyarakat, namun jejaring sosial itu juga dapat menyebabkan pertentangan dan perpecahan yang lebih dalam di antara pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok. Dunia digital adalah ruang umum terbuka, sebuah tempat pertemuan, kita bisa saling mendukung atau menjatuhkan, terlibat dalam diskusi sarat makna atau melakukan serangan yang tidak jujur.
Kiranya kini pun masih bergaung doa Paus Fransiskus dalam tahun Yubileum kerahiman itu agar kita mampu “membuka diri kepada dialog yang lebih bersungguh-sungguh sehingga kita bisa mengenal dan memahami satu sama lain dengan lebih baik: dan ini bisa melenyapkan berbagai bentuk kepicikan dan sikap kurang hormat, dan menghilangkan setiap bentuk kekerasan dan diskriminasi” (Misericordiae Vultus, 23).
† Mgr. Vitus Rubianto Solichin