Skip to content
Perjalanan pastoral panjang Bapa Uskup Mgr. Vitus Rubianto Solichin, SX ke Paroki Santo Damian Saibi, Kep. Mentawai, 5 - 13 Maret 2022 selain melakukan kegiatan rutin, juga kesempatan menyerap aspirasi, masalah, dan kebutuhan umat setempat. Jajaran pejabat Pemda Kabupaten Kep. Mentawai bersama-sama dalam kunjungan ini.

SAIBI, KEP. MENTAWAI – Bapa Uskup Mgr. Vitus Rubianto Solichin, SX mengatakan, “Setelah ke daerah ini (Saibi) dua puluh lima tahun lalu, sebagai diakon di Paroki St. Maria Auxilium Christianorum-Sikabaluan, kini banyak perkem­bangan dan kemajuan masyarakat di daerah ini.” Hal tersebut disampai­kan Uskup Vitus di Gedung Serba Guna (GSG) Beato Eustaquio, Paro­ki St. Damian, Saibi Muara, Siberut Tengah, Kep. Mentawai Sabtu (5/3).

Mgr. Vitus mengisahkan sejak ditahbiskan sebagai Uskup Padang 7 Oktober 2021 merasakan kebersa­ma­an dan dukungan Pemerintah Kabu­paten Kepulauan Mentawai atas pe­la­yanan pastoral di daerah ini. Satu bulan usai tahbisan (7/11), Bapa Uskup diundang bupati ke ibu kota kabupaten, Tuapeijat. Saat itu, selain berjumpa dengan umat Katolik Paroki St. Petrus-Tuapeijat, Bapa Uskup berkenalan dengan anggota Forum Komunikasi Pimpinan Dae­rah (Forkompinda) Kabupaten Ke­pu­lauan Mentawai, Organisasi Perang­kat Daerah (OPD), danb para tokoh masyarakat dan umat beragama.

Saat kunjungan kedua ke Menta­wai, November 2021, Uskup Vitus pun merasakan hangat dan kuatnya jalinan kebersamaan serta dukungan pemerintah daerah. Bahkan, Wakil Bupati Mentawai, Kortanius Sabe­lea­ke mengaku perjalanan itu sebagai perjalanan spiritualnya. “Kami saling mengayakan. Saya berkhotbah, Wakil Bupati saat kata sambutan,” ungkap Mgr. Vitus lagi.
Pada kunjungan ketiga di Kepulauan Mentawai, ke Paroki St. Damian – Saibi Muara, Siberut Tengah, Maret 2022, Bapa Uskup Vitus tidak menyangka kehadiran lengkap rombongan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai, termasuk enam kepala dinas plus Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Mentawai. “Inilah bentuk kerja sama dan kebersamaan yang saling menunjang dan mendukung. Gereja Katolik sungguh merasa didukung tanpa kepentingan apa pun. Semoga pemimpin mendatang dapat mene­rus­kan upaya yang telah dilakukan kepala daerah sekarang dan tidak malah menjadi perusak kemajuan maupun perkembangan yang ada,” tukas Uskup Vitus.

Kesempatan ini juga dihadiri pemuka umat dan masyarakat Saibi serta sejumlah Aparatur Sipil Negara beragama Katolik (di kantor kepala desa, kecamatan, pusat kesehatan masyarakat, sekolah), Bapa Uskup Vitus mendorong warga masyarakat – termasuk umat Katolik – mem­bantu dan mendukung pemerintah daerah untuk perkembangan dan kemajuan dengan semangat optimis. Pembimbing Masyarakat (Pembi­mas) Katolik Kantor Wilayah Kementerian Agama RI Provinsi Sumatera Barat hadir juga dalam tatap muka tersebut.

Kesempatan Bersuara

Umat dan masyarakat menggu­na­kan kesempatan ini untuk menyampaikan aspirasi kepada pemerintah kabupaten dan Bapa Uskup. Bupati Yudas Sabaggalet memberi kesempatan para kepala dinas menanggapi aspirasi tersebut. Aspirasi yang muncul misalnya kelancaran sinyal internet, ketersediaan arus listrik, penyediaan guru agama Katolik di sekolah negeri, pemilihan umum kepala daerah serentak 2024, rencana pembangunan jalan di sepanjang tepi Sungai Saibi dalam kompleks tanah gereja/paroki. Pada kesempatan hadir ini Kepala Dinas Pendidikan, Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan, Dinas Koperasi dan Perindustrian-Perdagangan, Dinas Perumahan dan Kawasan Pemukiman, dan Dinas Komunikasi Informasi.

Pastor Paroki St. Damian, Saibi Muara, P. Agustinus Agus Suwondo, SSCC sebagai tuan rumah meng­ungkapkan proses pembangunan gedung serba guna ini. Tentang nama, diakuinya banyak umat belum tahu dan kenal nama Beato Eusta­quio – seorang imam pendoa asal Belgia dan berkarya di Brasil, Amerika Latin, yang sedang proses kanonisasi. “Setahun terakhir, pembangunan dikebut. Dengan dukungan umat termasuk pelajar SMP dan SMA, bagian luar bangunan dibereskan dalam waktu dua minggu. Kalau umat bersatu, apa pun yang dianggap tidak mungkin, pasti dapat dikerjakan,” tandasnya.

Sebelum pertemuan di malam hari tersebut, sore harinya, ber­lang­sung penyambutan kehadiran Bapa Uskup Padang, Pembimas Katolik Provinsi Sumatera Barat, dan kru Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Padang di dermaga masuk Saibi Muara. Setelah disambut tarian turu’ laggai, berlangsung pengalungan bunga kepada Bapa Uskup dan Pembimas Katolik. Sebelum menuju pastoran, rombongan menengok keadaan gereja Stasi Pusat Saibi Muara yang belum direnovasi hingga kini.
Di teras gedung serba guna juga berlangsung penyambutan rom­bongan memasuki ruangan. Di perjumpaan ini, Uskup Vitus mengi­sah­kan kenangan setahun sebagai frater di Paroki Siberut (1993) dan diakon selama enam bulan di Paroki Sikabaluan (1997). Uskup Vitus mengenang rute yang pernah dilalui­nya saat Saibi Muara masih berstatus stasi. Seingatnya, kala itu, daerah hulu (Sirisura dan Simoilalak) berna­ma Saibi Hulu.

Dari kisah-kisah perjalanan dan pelayanan yang pernah dilakukannya di masa silam, Bapa Uskup berharap anak muda Paroki Saibi mau men­contoh dan meneruskan pelayanan rohani umat kelak. “Kalau seminari di Padang telah dibuka, saya ber­harap ada anak muda di sini tertarik bergabung masuk. Di setiap waktu, selalu ada anak muda, termasuk kini pun tidak berkurang. Patut disyukuri, masih ada anak-anak. Bayangkan dengan Gereja di Eropa yang dido­mi­nasi kalangan berusia lanjut. Saya berharap dalam waktu tidak lama, Stasi Pusat di Paroki Saibi bisa memiliki bangunan baru. Bangunan yang ada belum direnovasi dan masih merupakan bangunan yang dibangun sekian puluh tahun silam,” ucap Bapa Uskup. Usai perkenalan, Bapa Uskup dan rombongan mela­ku­kan kun­jungan ke Komunitas KSFL Saibi. Pemberkatan dan peresmian Gedung Serba Guna (GSG) Beato Eustaquio berlangsung khidmat dan meriah, Minggu pagi (6/3) dihadiri Bupati dan Wakil Bupati Kepulauan Mentawai, enam kepala dinas dalam lingkungan Kabupaten Kepulauan Mentawai, Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Mentawai. Hadir pula Pembimas Katolik Kantor Wilayah Kemen­terian Agama RI Provinsi Sumatera Barat. Peresmian GSG ditandai dengan pengguntingan pita di pintu masuk oleh Bapa Uskup dilanjutkan pemberkatan dengan perecikan air suci bagian dalam dan pendupaan bagian luar gedung. Sebelum pemberkatan, Bapa Uskup mengajak umat berdoa litani kehadiran Allah.

Dalam Perayaan Ekaristi, Bapa Uskup menerimakan Sakramen Krisma kepada 37 umat. Dalam homili, Bapa Uskup menyatakan bangga dengan umat Paroki Saibi dan paroki lainnya yang mempunyai semangat bertemu, berkumpul untuk menyatakan imannya. “Peresmian dan pemberkatan GSG ini – menjadi tempat berkumpul dan berdoa. Kita bersama merayakan kehadiran Tuhan dan menyambut Roh Kudus yang dicurahkan, termasuk kepada para krismawan-krismawati,” ucap Uskup Vitus.
Usai Misa Kudus, penerima krisma tertua, Patrisius Saguruk (34) menyatakan bahagia dan bangga. Ia merasa dengan usia sekarang men­jadi lebih matang dan sungguh dewasa dalam berkata dan bertindak, serta benar-benar dapat mempertang­gungjawabkan iman Katolik. “Sebe­lum kami menerima Krisma, setiap hari selama dua minggu menjalani persiapan. Moment ini sudah lama kami rindukan, kini menjadi kenyataan,” ungkapnya.

Kesempatan untuk Mendengar

Dalam jadual di paroki ini, Bapa Uskup mengunjungi tujuh dari sebelas stasi. Selain mengunjungi Stasi Pusat – 6 rayon pada 5-6 Maret, Bapa Uskup mengunjungi umat di Stasi Kristus Rimata-Sirisura (6-7/3), Stasi St. Fransiskus Xaverius-Simoilalak (7-8/3), Stasi St. Leo Agung-Kaleak (8-9/3), Stasi St. Petrus-Saliguma (9-10/3). Stasi Saliguma menjadi tempat titik berangkat rombongan menuju pelosok, Stasi St. Paulus Miki-Tinambu (11-12/3) lewat jalur darat. Butuh waktu sekitar empat jam berjalan kaki. Stasi St. Andreas-Gotab terakhir yang dikunjungi Bapa Uskup (12-13/3).

Di setiap stasi, Bapa Uskup selalu berdialog dengan umat, merayakan Ekaristi, dan meneri­makan Sakramen Krisma (kecuali Stasi Tinambu). Di Stasi Tinambu berlangsung peletakan batu pertama pembangunan gereja. Di Stasi Gotab berlangsung pemberkatan taman doa di kompleks gereja stasi yang dalam tahap pengerjaan akhir. Umat yang menerima Krisma, 37 orang di pusat paroki, Stasi Sirisura (15) Simoi­lalak (9), Kaleak (14), Saliguma (33), dan Gotab (18). Saat berdialog dengan umat muncul aneka persoalan, ter­utama menyangkut kebutuhan umat.
Di Stasi Kristus Rimata-Sirisura (6/3) mencuat harapan umat atas kehadiran asrama bagi pelajar SMP di pusat kecamatan – sekaligus pusat paroki. Kini hanya ada satu SD di Sirisura. Tamatan SD melanjutkan pendidikan di Saibi Muara. Menanggapi hal ini, Uskup Vitus menyatakan bahwa harapan yang sama muncul dari umat Stasi St. Petrus Simalibeg. Menurut Bapa Uskup untuk membangun asrama butuh komitmen. Sanggupkah umat mengelola asrama, terutama para orangtua? Tidak hanya sebatas membuka asrama, lalu selesai. Bagaimana pengelolaan dan biaya­nya? Orangtua yang mengi­rim­kan anaknya ke asrama, mesti ikut me­nanggung biaya agar kehi­dupan asrama dapat terus berlangsung. Asrama butuhkan biaya besar! Tidak bisa dibebankan pada paroki (keuskupan). Memang mempri­hatinkan tidak ada asrama, kini para orangtua mendirikan pondokan kecil untuk anaknya. Ada juga yang memasukkan anaknya ke pondok pesantren, akhirnya pindah agama (murtad). Ini persoalan besar. Uskup Vitus menambahkan pihaknya merasa perlu ada asrama di Betaet. Pemerintah Kabupaten Mentawai, melalui Dinas Pendidikan bisa ikut menyokong keberadaan asrama yang dikelola paroki.

Hal lain yang mencuat dalam dialog Bapa Uskup bersama Pembimas Katolik (Henrikus Jomi) dengan umat adalah ketersediaan guru agama Katolik di sekolah-sekolah negeri. Ada peluang, namun tidak bisa diisi putera Mentawai. Terkait kekurangan guru agama Katolik, Pembimas Katolik bekerja sama dengan Kepala Seksi Agama Katolik pada Kanwil Kemenag RI Kabupaten Kepulauan Mentawai mengisinya dengan membuka ke­sempatan penyuluh agama Kato­lik. Kini ada 30 penyuluh agama Katolik di Kepulauan Mentawai. Di Suma­tera Barat daratan ada 60 penyuluh. Pembimas Katolik menyatakan kesediaannya mencarikan solusi dengan mengirim calon peminat guru agama Katolik, atas rekomen­dasi keuskupan belajar di Sekolah Tinggi Agama Katolik Negeri di Pontianak, Kalimantan Barat. Per­soal­an ini juga umat Stasi Simoi­lalak.

Hari kedua di Stasi Sirisura (7/3), Bapa Uskup menerima­kan Sakramen Krisma kepada 15 orang dalam Pera­yaan Ekaristi di gere­ja stasi setempat. Dalam homilinya, Uskup Vitus mengisahkan pengalaman tahbisan Diakon oleh almarhum Mgr. Mar­tinus D. Situmorang, OFM­Cap. (alm) dua puluh lima tahun silam. Saat itu Uskup Martinus dalam keadaan sakit, masih sem­pat berkunjung ke stasi terujung di hulu Paroki Saibi ini dan menerima­kan Sakramen Krisma. “Semoga penerima Sa­kra­men Krisma dapat men­jadi Rasul dan Saksi Kristus kelak!” kata uskup.

Sebelum menuju Stasi Simoi­lalak, Ketua Stasi (baja’ gereja) Sirisura Markus Sauddeinuk menya­takan sangat bersuka cita atas keda­tangan Bapa Uskup di stasinya. Kedatangan Bapa Uskup memberi semangat bagi umat dan pengurus stasi. Pengurus stasi banyak keterbatasan, namun diupayakan terlaksana sebaik-baiknya sesuai batas kemampuan.” Dalam dialog, selain persoalan guru agama Katolik dan asrama, persoalan yang muncul di stasi Simoilalak adalah fenomena keluarga atau pernikahan Katolik yang bermasalah. Atas persoalan ini Bapa Uskup menanggapi bahwa pernikahan yang bermasalah dan butuh perbaikan. Persoalan ini tidak hanya terjadi di stasi ini, tetapi juga di tempat lain. Bapa Uskup mene­gas­­kan kalau ada keluarga bermasa­lah pengurus stasi bukanlah pihak pertama yang mengurusinya. Seharusnya, individu bersangkutan datang dan mengurusnya ke pastor paroki – yang akan menunjukkan jalan keluar atau solusinya. “Baja’ Gereja tidak perlu pusing urus ­ma­salah. Kalau butuh proses hukum Gereja, pastor paroki akan meng­hubungi wakil uskup yang bertugas menangani persoalan ini.” katanya.

Terkait hal ini, Bapa Uskup menyampaikan bahwa di Keuskupan Padang ada Vikaris Yudisial (urusan tribunal) wakil uskup yang menangani dan mengurus untuk menyelesaikan dan mem­bereskan persoalan ter­masuk keluarga. Kalau ada persoalan dalam per­ni­kahan Katolik di antara suami-istri, tidak ada perceraian. Kalau ada hidup bersama lagi, dapat dipas­tikan untuk perni­kah­an kedua bukan sakramen. Masalah men­jadi lebih pelik kalau telah mempunyai anak. Maka, untuk hal semacam ini harus dibereskan terlebih dulu. Agama Katolik tetap mempertahankan perka­winan sebagai sesuatu yang sakral/suci.
Dari Stasi Simoilalak, perjalanan pastoral Mgr. Vitus dilanjutkan ke Stasi St. Leo Agung Kaleak menggunakan perahu. Dusun Kaleak adalah dusun peme­kar­an dari Sibuddaoinan. Masyarakat setempat yang hampir seluruhnya Katolik menyambut meriah rom­bongan Uskup dengan turuk laggai dan pengalungan bunga, paduan suara stasi tidak ketinggalan menyam­but dengan koor. Di Kaleak, Mgr. Vitus menginap di rumah kepala dusun, Marcellus Barus.

Dalam perbincangan dengan beberapa umat, Bapa Uskup mem­buka lembar kenangan semasa frater berkunjung ke Sibuddaoinan. Saat itu, dusun Kaleak belum ada. Mgr. Vitus teringat saat hujan rintik-rintik memancing mendapatkan ikan bara­kuda yang mulutnya panjang seperti tiang listrik. Selain itu, Bapa Uskup terkesan dengan masyarakat yang setia menjaga kebudayaannya. Agenda pastoral Bapa Uskup di Stasi Kaleak meresmikan gereja stasi dan menerimakan sakramen Krisma kepada 14 umat. Sambil menunggu makan siang, Bapa Uskup berkun­jung ke salah satu umat yang dekat gereja berdiskusi tentang kebuda­yaan Mentawai. Kepada umat yang hadir, Bapa Uskup menyatakan bahwa masyarakat sendirilah yang harus menjaga kebudayaannya, dengan menggunakannya secara benar dan tepat. “Tidak semua pakaian sikerei bisa di pakai, karena masing-masing ada artinya. Sama halnya umat memahami seperti tongkat uskup, topi uskup (mitra), dan cincin. Umat mencium cincin uskup, yang mengandung arti indulgensi.” kata Mgr. Vitus. Usai makan siang, diantarkan Rm. Wondo dengan mengendarai sepeda motor Mgr. Vitus bernostalgia mengunjungi Gereja Stasi St. Maria Ratu Damai Sibuddaoinan. Bapa Uskup dengan baja’ Gereja dan kepala dusun melihat bangunan gereja yang telah usai dibangun dan siap diresmikan. Pada malamnya, saat pertemuan dengan selain menceritakan peng­alaman saat pertama kali datang ke Mentawai tahun 1989, Bapa Uskup mendengarkan kisah perjuangan umat stasi dalam membangun gereja. Bendahara pembangunan Jegus Sageileppak menceritakan bahwa proses pembangunan gereja dimulai tahun 2017 hingga kini belum selesai tetapi sudah diresmikan. Panitia mendapatkan bantuan dana dari Pemda Mentawai untuk membiayai kebutuhan bahan bakar (solar), bantuan dari Dana Desa digunakan untuk bagian tembok dan lantai gereja. Panitia masih membutuhkan banyak dana untuk finalisasi pembangunan ini. Selain itu, Jegus menyampaikan keprihatinannya tentang sekolah Katolik di Mentawai yang tidak seperti dulu lagi.

Soal pembangunan gereja stasi, Romo Wondo menambahkan dan mengapresiasi semangat umat yang bergotong mengambil pasir dan kerikil sehingga proses pembangun­an berlangsung cepat. Menanggapi dua hal itu, Bapa Uskup meminta supaya panitia mengkonkretkan rincian anggaran dan jumlah dana yang dibutuhkan lalu diajukan ke paroki. Selanjutnya, paroki mem­bantu dengan memintakan dana ke keuskupan atau donatur. Soal sekolah Katolik, Mgr. Vitus menje­laskan dulu ada sekolah (filial) di setiap paroki, sekarang tidak ada lagi. Bapa Uskup menyatakan punya impian sekolah ini bisa direalisasikan kembali dengan melibatkan atau mengaktifkan pastor-pastor di paroki. “Bukan membuat yayasan sendiri (baru), tetapi Yayasan Prayoga Padang mempercayakan kepada paroki untuk mengawasi dan mengelola sekolah ini”. katanya.

Pentingnya Kerjasama Pemerintah

Dari Kaleak rombongan Bapa Uskup menuju Stasi St. Petrus Saliguma (10/3). Di Saliguma, prosesi rombongan penyambutan seperti di Kaleak. Dalam perayaan Ekaristi, Bapa Uskup menerimakan sakramen Krisma kepada 33 umat. Di bagian akhir perayaan Ekaristi, secara guyon Romo Wondo menyatakan bahwa stasi ini sudah layak dimekarkan menjadi paroki karena jumlah umatnya sangat banyak, hampir 1000-an jiwa. Bapa Uskup menanggapi, “Semoga impian Pastor Wondo bisa terwujud. Sebaik­nya kalau ada kecamatan di situ ada paroki.” katanya.
Malam harinya, pertemuan Uskup dengan umat dilaksanakan di di balai desa. Dalam sesi tanya jawab, muncul persoalan tentang pendidikan agama dan guru agama Katolik. Menang­gapi hal ini, Romo Wondo menya­takan bahwa meskipun mayoritas masyarakat Saliguma beragama Katolik, warna kekatolikan belum terasa. Di sekolah, guru ASN Katolik sedikit. Para guru Katolik sesungguhnya bisa menggerakkan umat untuk menciptakan suasana kekatolikan itu. Menurut Romo Wondo umat Katolik sebagai ASN, tenaga honorer atau kontrak adalah berkat. Diharap­kan­nya, para guru yang beragama Katolik membantu paroki untuk pelayanan katekese. “Mari berkum­pul menyusun dan melaksa­nakan program katekese yang berkesinambungan dari SD sampai SMP. Program ini tidak sama dengan kurikulum, tetapi program pendampingan dan pem­binaan iman untuk anak-anak Katolik dari Gereja.” kata Romo Wondo.

Menanggapi hal itu, Bapa Uskup menambahkan mesti disyukuri karena Kep. Mentawai sekarang mengalami perkembangan jauh sekali dibandingkan semasa dirinya frater. Ketika masih frater, Bapa Uskup mengaku agak sinis dengan guru-guru yang pindah ke negeri. Pandangan sinis ini muncul karena sistem pemerintah saat itu. Tetapi kini, Bapa Uskup merasa mendapatkan support luar biasa dari pemerintah daerah. Masyarakat Katolik juga mesti berubah. Bapa Uskup menegaskan bahwa tanpa kerjasama tidak mungkin Mentawai bisa seperti sekarang ini. Umat Katolik memang minoritas di Sumatera Barat, namun Mentawai bisa menjadi kekuatan. “Umat Katolik harus mendukung pemerintahan yang mau bekerjasama untuk membangun masya­rakat. Bukan pemerintah yang hanya mau mengambil hasil di daerah ini. Bukan pemerintah yang maaf, hanya menjajah masya­rakat.” tegasnya.

Perjalanan Penuh Menantang

Perjalanan pastoral Bapa Uskup dan rombongan hari ke-7 (11/3) menjadi perja­lanan paling menantang. Stasi St. Paulus Miki Tinambu adalah stasi terjauh di Paroki St. Damian Saibi Muara. Turut serta dalam rombongan 30-an OMK dan misdinar. Karena hujan lebat, rencana berangkat pukul 07.30 WIB tertunda menjadi pukul 09.30 WIB. Rombongan berjalan kaki melewati hutan dan bukit selama empat jam. Medan di jalur pendakian masih alami dan berisiko, jalan licin karena baru saja diguyur hujan. Da­lam perjalanan sering ditemui alu­matet (pacet) dan binatang berbisa seperti kalajengking dan ular hijau. Setengah jam perjalanan boleh dika­takan pemanasan, karena jalur selan­jutnya jalan setapak berupa tanjakan berbatu, sisi kanan kiri jalan ranting pepohonan. Saat istirahat, rombong­an mesti mengoleskan anti nyamuk untuk menghindari gigitan alumatet.

Selain menantang, banyak momen lucu selama perjalanan. Sesekali ada kaki anggota rombong­an tergelincir dan terpeleset lalu jatuh. Ada juga yang kakinya terbe­nam di lumpur, sulit diangkat sendiri dan kotor. Tidak ada anggota rom­bongan yang celana dan kakinya bersih dari lumpur. Beruntung saat menyeberang sungai, airnya sedang surut. Meski demikian, adrenalin diuji karena mesti melewati jembatan (titian) dari sebatang kayu. Beberapa OMK membantu Bapa Uskup melewati jembatan itu. Selama perjalanan, rombongan juga mele­wati daerah bekas tebangan kayu yang tandus dan panas. Sinar mata­hari menyengat sekali. Sesampai di puncak bukit, rombongan disuguhi pemandangan eksotik dusun Tinam­bu. Setelah melewati penu­runan curam, tibalah di Tinambu. Lega setelah menempuh perjalanan selama 4 jam. Haus dan dahaga hilang, saat umat menyuguhi kelapa muda. Menjelang sore hari, di saat anggota rombongan lain istirahat, Bapa Uskup berjalan-jalan mengelilingi Tinambu sekaligus melihat lokasi peletakan baru pertama bangunan gereja berukuran 8 meter kali 15 meter. Malam harinya, Bapa Uskup bertemu dengan umat stasi. Baja’ Gereja setempat menjelaskan jumlah umat di stasi sebanyak 14 keluarga (54 jiwa). Jumlah umat berkurang karena pemekaran wilayah Siberut Selatan menjadi Siberut Tengah. Selain itu, umat Katolik pindah ke agama lain.

Menanggapi kondisi dan keluhan ini, Bapa Uskup menyatakan kondisi sulit ini men­jadi refleksi kehadiran Gereja. Tentang umat yang pindah agama, Bapa Uskup berpesan agar umat tetap mengutamakan kasih. Meski­pun dibodohi karena ditipu sana-sini namun justru menjadi umat kesayangan Tuhan. Umat menjadi seperti Dia yang sempurna dan baik. Berbuat baik kepada orang yang tidak tahu berterima kasih. Sebab Allah membuat matahari terbit untuk orang jahat dan bagi orang baik pula. Hujan diturunkannya bagi orang benar dan orang tidak benar. Tidak salah stasi ini mengambil nama Paulus Miki, seorang martir asal Jepang yang ditinggalkan oleh pastor-pastor karena situasi yang parah, namun tetap bertahan imannya. Bapa Uskup juga merasakan kepedihan kepala dusun yang juga tetap memikirkan masyarakat, termasuk masyaratakat yang kini bukan Katolik.

Umat sepakat dan bersemangat ketika Bapa Uskup menantang agar pembangunan gereja stasi selesai dalam 5 bulan. Menurut Bapa Uskup, semangat saja tidak cukup, perlu kerja sama dan kerja nyata. Saat ini hanya 6 keluarga saja yang masih mau membangun gerejanya. Itulah jalan salib, perjuangan. Tidak pantang mundur dan menyerah, berapa pun jumlahnya. Umat harus melihat yang positif. Tidak saling menuding, tetapi bersama-sama ambil bagian dalam pembangunan ini. Bapa Uskup menambahkan persoalan yang umumnya di Kep. Mentawai adalah sulitnya mencari katekis (guru agama Katolik). Pembimas Katolik sudah mem­beri­kan tawaran jalan keluar kepada umat yang anaknya ingin menjadi katekis.

Esok harinya, Sabtu (12/3) Bapa Uskup merayakan misa bersama umat dilanjutkan peletakan batu pertama pembangunan gereja. Misa ini juga diikuti umat Stasi Saliguma. Dalam homilinya Bapa Uskup menyampaikan bahwa kalau percaya, janji Tuhan itu membuat manusia menjadi umat kesayangannya. “Umat stasi ini berjanji akan menyelesaikan gereja dalam 5 bulan. Sekarang Tuhan mengatakan engkau akan menjadi umat kesayangan-Nya seperti yang dijanjikan-Nya kepadamu. Itu berarti Tuhan lebih dulu berjanji pada kita.” ucap Mgr. Vitus.
Mgr. Vitus mengapresiasi semangat umat yang masih bertahan dan melanjutkan pembangunan meski dalam kondisi serba terbatas. Bapa Uskup menegaskan bahwa kalau aki ada batasnya dan harus di charge, namun aki dari Tuhan tidak ada matinya. Tuhan sendiri punya aki yang tiada matinya. “Itulah keya­kinan kita. Justru kalau semangat turun, kita lihat Tuhan sendiri tidak turun semangatnya untuk mencintai kita. Saya bangga misa juga dihadiri umat dari tempat jauh, rombongan dari Saliguma. Ini kekayaan, anak-anak dari Saliguma ini di sambut umat Tinambu seperti keluarga sendiri.” kata Bapa Uskup.

Usai misa semua yang hadir mengikuti prosesi peletakkan batu pertama pondasi awal bangunan gereja Stasi Paulus Miki Tinambu. Umat pun bersuka cita umat karena pembangunan gereja juga sebagai kesempatan bertumbuhnya iman khususnya anak-anak dan orang muda yang menjadi masa depan Gereja. Usai makan siang, rom­bongan Bapa Uskup kembali ke Saliguma menempuh jalur perja­lanan menantang sebelumnya. Di sepanjang perjalanan, hujan meng­guyur sehingga mesti ekstra hati-hati. Menjelang sore rombongan tiba di Saliguma. (hrd & Bud)

Powered by Gema Keuskupan Padang 2023