Mengapa keluarga – termasuk keluarga Katolik – perlu diperhatikan? Karena kita (saya dan anda) berasal dari keluarga.  Bahkan, keluarga merupakan sumber hidup, pendidikan, agama. Sebab itu, kita perlu menjaga dan merawat “akar” ini – keluarga – dengan sebaik-baiknya. Ini pasti akan menjadi jaminan bahwa keluarga juga aman dan baik juga.

Kalau ada pertanyaan untuk ‘menilai’ kondisi kehidupan keluarga Katolik masa kini, tanggapan saya: tidak bisa memberi banyak komentar! Mengapa? Karena tergantung cara proses seseorang membentuk keluarga (menikah).  Dari mana asal seseorang? Apakah proses pembentukan keluarga sesuai prosedur yang biasa, jalan pintas, atau ‘jalan luar biasa’? Masa kini, banyak hubungan manusia berlangsung singkat, terutama dengan dukungan media social (medsos). Kepribadian calon pasangan yang belum matang terbentuk untuk berumah tangga (berkeluarga) akan mudah atau gampang terpengaruh dan dipengaruhi situasi. Maka, tidak heran, bila mereka sangat mudah (gampang) sekali putus hubungan.

Bila calon pasangan suami isteri menyadari bahwa dalam berkeluarga (pernikahan) ada penggabungan, pengintegrasian antara dua pribadi yang berbeda latar belakang, namun mau ‘memperbaiki’ dan menyempurnakannya; maka ada jaminan bahwa hidup berumah tangga mereka akan baik adanya kelak. Sebaliknya, kalau individu bersangkutan tidak mau berbenah (mengubah) diri, membentuk diri, tetap mempertahankan egoismenya  sangat besar kemungkinan kehidupan berumah tangganya menjadi rapuh.

Keluarga Kudus Nasaret merupakan contoh (patron)  bagi keluarga Katolik. Bila dicermati lagi, keluarga ini terdiri dari orang-orang yang dipanggil Tuhan. Maria misalnya, ditentukan menjadi ibu Yesus. Saat itu, Yosef tidak tahu sehingga berniat meninggalkan Maria. Namun, setelah diberi kabar malaikat agar Yosef tidak takut menerima Maria – yang akan melahirkan Yesus. Kesadaran spiritualitas itulah yang mendorong kembali Yosef menerima keberadaan Maria dan kesediaan menjadi bapa pemelihara Yesus. Kesadaran yang sama itu pula yang dialami Maria – yang menjadi ibu Yesus. Ini patut menjadi perhatian dan kesadaran, bahwa kita pun menjadi ayah dan ibu dari seorang anak yang ditentukan Tuhan. Kalau hal ini disadari, maka keluarga yang dibentuk akan menjadi baik. Spirit atau semangat semacam inilah yang harus ditanamkan kepada pasangan suami istri, ayah ibu masa kini. Spiritualitas keluarga yang mencontoh spiritualitas (anggota) keluarga Nasaret.

Bagaimana menghadirkan keluarga Nasaret masa kini? Tentu tidak sesederhana itu. Namun ada cara sederhana yang dilakukan semua pasutri, yakni: (1) jadilah manusia yang berkepribadian baik, jadi laki-laki yang baik, jadi perempuan yang baik secara psikologis. Pilih pasangan yang betul-betul cocok dan pas, serta komplementer (saling melengkapi). Ini harus ada. Maka, pacaran penting sebagai waktu pengenalan,  karena perlu waktu untuk mempertimbangkan faktor-faktor ini. (2) pasangan yang akan membangun, membentuk keluarga haruslah mendasarkan pada spiritualitas bahwa pernikahan (perkawinan) dikehendaki oleh Tuhan. Keluarga Katolik adalah Gereja kecil.

Dalam berkeluarga, bukan pesta meriah yang penting. Perjuangan mempertahankan kelanggengan hidup berumah tangga hingga akhir hayat yang penting. Untuk sampai ke sana, keluarga membutuhkan pendampingan atau pastoral. Terlebih keluarga mengalami masa-masa sulit, pastor  sebagai gembala umat hendaknya hadir. Pastor  tidak cukup hanya berkhotbah saja, namun juga mesti mampu masuk dan memahami kehidupan keluarga umatnya, bisa berupaya membantu dan mengembangkan kehidupan rumah tangga umatnya. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah setiap calong pasangan suami isteri yang (akan) menikah menyadari dirinya otonom dan tidak terpengaruh pihak lain.

Pasangan suami isteri tidak boleh lagi terpengaruh oleh keluarga asal (mertua) dan keluarga besarnya. Sebab itu, di antara pasangan mestilah saling bicara dan berkomunikasi dan punya otonomi.

Di dalam Gereja Katolik, Kursus Persiapan Perkawinan (KPP) menjadi sangat penting bagi pasangan yang mau menikah. KPP bagus diikuti anak-anak muda yang berpacaran dan resmi tunangan. Setelah definitif akan nikah dan menyampaikannya pada pastor untuk mendampingi dan memberikan konseling. Ini tanggung jawab sangat berat pastor, apalagi jumlahnya sedikit.

Untuk pendampingan keluarga, pastoral keluarga tidak bisa hanya berjangka pendek melainkan dalam waktu panjang dan berkesinambungan. Dalam studi psikologi, ada pendampingan keluarga yang baru menikah, telah menikah lima hingga sepuluh tahun, dan selanjutnya. Hal ini mesti mendapat perhatian gembala umat di paroki dibantu kaum awam dalam Seksi Keluarga DPP. Idealnya, anggota tim seksi ini dilatih agar mampu mendampingi keluarga-keluarga untuk penguatan dan mengatasi masalah. Praktiknya, keluarga mendampingi keluarga. Di kota-kota besar hal ini telah dilakukan, terutama dalam gerakan Marriage Encounter (ME).

Pastoral keluarga di tingkat keuskupan oleh Komisi Keluarga, di tingkat paroki oleh Seksi Keluarga. Bila perlu ada seksi keluarga di tingkat wilayah dan stasi. Di tengah beragam problem keluarga dan penanganannya, perlu integrasi, kerja sama, sinergi di berbagai tingkatan. Semuanya bermuara pada langkah pastoral keluarga. Selama ini memang belum seideal demikian, karena terkendala jumlah imam, pasangan suami istri yang mau dan bersedia mendampingi dan menjadi bagian dari tim Seksi Keluarga. Maka butuh kesediaan diri dari berbagai pihak. Ini jangan dianggap kerja sosial melainkan sebagai suatu panggilan melayani, komitmen dan kesadaran dalam kerangka berpastoral keluarga.  (hrd)

P. Anton Konseng, Pr.
Ketua Komisi Keluarga Keuskupan Padang
(Diolah dari wawancara).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *