Hal menarik pada butir 8 Rangkuman Sinode Keuskupan Padang Tahun 2022 yang tercantum dalam Buku Pegangan Pertemuan Imam Keuskupan Padang 2022, halaman 23. Judul butir 8: “Sinodalitas – Partisipasi vs Klerikalisme – Pastorcentris”. Terdapat empat istilah pada butir 8 tersebut: Sinodalitas, Partisipasi, Klerikalisme, dan Pastorcentris.
Sinodalitas berarti ‘berjalan bersama’. Gereja dalam penggembalaan Paus Fransiskus adalah Gereja yang berciri sinodal, Gereja yang berjalan bersama. Gereja yang tidak hanya melakukan pertemuan untuk diskusi tentang masalah-masalah yang ada dalam kehidupan Gereja tetapi Gereja yang berjalan bersama sebagai satu persekutuan umat Allah. Paus Fransiskus mengajak seluruh Gereja Universal untuk melakukan sinode dan hal ini merupakan yang pertama kalinya dalam Gereja, sinode yang dilakukan dengan melibatkan seluruh umat Allah untuk berjalan bersama. Gereja yang sinodal artinya Gereja yang bersifat terbuka, mendengar dan berkomunikasi.
Partisipasi – berasal dari Bahasa Inggris (participation) – dapat diartikan suatu kegiatan untuk membangkitkan perasaan dan diikutsertakan atau ambil bagian dalam kegiatan suatu organisasi. Satu semangat dan senafas dengan sinodalitas. Di lain pihak, klerikalisme adalah sikap yang tidak teratur terhadap imam, rasa hormat yang berlebihan dan asumsi superioritas moral mereka. Dalam deskripsi singkat Paus Fransiskus, para klerus merasa mereka lebih tinggi, sehingga mereka jauh dari umat. Sebagaimana ditulis Paus Fransiskus, klerikalisme dapat dibina oleh para imam atau awam. Orang awam juga dapat jatuh ke dalam klerikalisme, jatuh dalam pemikiran bahwa kontribusi mereka terhadap kehidupan Gereja hanya kelas dua. Atau, bahwa dalam segala hal pasti “Bapa (imam) tahu yang terbaik”.
Klerikalisme adalah penyalahgunaan wewenang. Imam yang terjerumus jebakan klerikalisme menganggap dirinya berhak dan harus diperlakukan dengan hak istimewa. Sering ada pengertian superioritas dan ada yang terlupakan, yakni ajaran Yesus “yang pertama akan menjadi yang terakhir dan yang terakhir akan menjadi yang pertama”.
Nyaris senada dengan klerikalisme adalah kepemimpinan bercorak pastorsentris, suatu model pastoral yang menempatkan pastor sebagai penentu segalanya dalam kehidupan parokial. Artinya, segala-galanya berpusat pada pastor. Umat seakan-akan “mati”, “lumpuh” dan tanpa partisipasi aktif. Sejak Konsili Vatikan II, partisipasi kaum awam sangatlah diharapkan dalam membangun kehidupan menggereja. Sebab Gereja bukan hanya milik hirarki, kaum tertahbis, klerus, rohaniwan, biarawan-biarawati, tetapi milik semua (awam). Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, Lumen Gentium (LG), menggarisbawahi kewajiban mulia kaum awam untuk berusaha supaya rencana keselamatan Ilahi semakin mencapai semua orang di segala zaman dan di mana-mana (LG art.33). Atau, dalam dekrit tentang kerasulan awam, Apostolicam Actuositatem (AA) juga ditegaskan kaum awam ikut serta mengemban tugas imamat, kenabian, dan rajawi Kristus, menunaikan bagian mereka dalam perutusan segenap umat Allah dalam Gereja dan dunia (AA art.3).
Ciri khas status hidup awam ialah hidup dalam dunia dengan segala urusan duniawinya. Mereka dipanggil untuk dijiwai semangat Kristiani ibarat ragi menunaikan kerasulan di tengah dunia ini.
Bagaimana dengan situasi di lapangan? Kerap terjadi, seakan berhadap-hadapan antara sinodalitas-partisipasi versus klerikalisme-pastorcentris. Dari hasil Sinode Keuskupan Padang 2022, halaman 23-24, butir 8, terdapat gambaran skala umum. Intinya, Gereja tidak lagi pastorsentris-klerikalisme!. Walau demikian, dalam skala kecil, Gereja masih cenderung pastorsentris.
Aktivis umat Paroki Keluarga Kudus Pasaman Barat, Lusia Ana Wiyati (38) berbagi kisah perbedaan situasi tatkala tiada dan ada dewan pastoral paroki (DPP). Koordinator Bidang Persekutuan DPP Keluarga Kudus, Pasaman Barat (2022-2025) ini menuturkan selama enam tahun ada kevakuman paroki tanpa DPP. Perempuan kelahiran Mahakarya, Pasaman Barat, 11 Juni 1983 ini menyadari ada hal-hal yang ditentukan oleh pastor dan ada pula yang melibatkan peran serta umat. “Idealnya keterlibatan umat seiring sejalan dengan pastor sebagai gembala umat. Dalam perayaan-perayaan besar di paroki ini, terlihat pastor melibatkan umat dalam berbagai kepanitiaan. Selama ini, pastor hanya memberikan gambaran umum dan penting sebagai pedoman atau arah, juga turut memberikan penjelasan, komentar saat evaluasi kegiatan,” ungkap Ana.
DPP: Wadah Berpartisipasi
Ana menyatakan gembira terbentuknya DPP 2022-2025 yang dilantik 16 Juli silam oleh Bapa Uskup Vitus Rubianto Solichin. “Kegiatan paroki terasa lebih terkoordinir. Terasa beda suasananya, ada dan tiada DPP. Sebelum vakum, sempat ada DPP selama dua tahun. Kala itu ada Musyawarah Pastoral (Muspas) paroki. Dengan adanya DPP, saya pribadi dan mungkin juga kawan lainnya merasa nyaman. Semua stasi dirangkul, diajak bersama-sama memikirkan paroki,” ungkapnya.
Saat tiada DPP, ada anggapan personil DPP bukannya membantu tugas pastor, malah dianggap merepotkan! Benarkan demikian? Ana tidak memungkiri, saat itu, ada sengketa terkait harta benda paroki dan merepotkan pastor paroki. DPP saat itu kewalahan menghadapi situasi. Belum tuntas masalahannya, terjadi pergantian pastor paroki; sehingga memusingkan pastor paroki yang baru.
Dengan pastor paroki baru, terbentuk DPP baru setelah mendapat ‘pencerahan’ dari Vikaris Yurisdiksi Keuskupan Padang. Dengan adanya DPP, awam dan imam bisa berembug bersama, lebih akrab, ada kebersamaan, saling kenal dengan pengurus stasi. Tanpa DPP, terkesan pengurus stasi hanya memikirkan stasinya saja. Boleh dikatakan tidak ada kegiatan separoki. Kalaupun ada, dalam rangka Hari Pangan Sedunia (HPS) tingkat paroki, dibantu dengan pembentukan kepanitiaan yang bersifat sementara. Adanya DPP, uamt pasti lebih kompak dan bersatu. Tiada DPP, kesannya jalan sendiri, seakan paroki ini tidak ada ‘bapaknya’. Aktivitas di tiap stasi memang lancer, tetapi kesannya, bergerak sendiri-sendiri saja,” ungkap Ana.
Terkait ruang partisipasi bagi umat, warga Stasi Kristoforus Tembilahan, Paroki St. Teresia dari Kanak-kanak Yesus Airmolek-Riau, Immaculata Surjani mengungkapkan, “Keterlibatan umat lumayan ada, walau tampak ‘berjalan di tempat’. Hal ini ditandai dengan tiadanya pertambahan jumlah aktivis stasi secara berarti. Keterlibatan warga sebatas mengikuti ibadat sabda, terutama sejak masa pandemi Covid-19. Seiring dengan semakin baiknya situasi, tentu diharapkan bergiat lagi.”
Mulai Juli 2022, sambung Immaculata, warga stasi mulai mengadakan doa lingkungan setiap Jumat. Kunjungan pastoral dari pastor ke stasi ini berlangsung tiga hingga enam bulanan.
Menurutnya, pandemi Covid-19 ada juga sisi positifnya, karena kami bisa menggunakan gedung gereja yang disegel, walaupun Paskah 2021 saya dipanggil aparatur kesbangpol, kementerian agama kabupaten, intelijen, satuan polisi pamong praja. Bahasa halusnya melarang kami berkegiatan dalam rangka Paskah di gereja di PRT 8,” ungkapnya.
Immaculata menambahkan ada kunjungan pastor untuk Misa Malam Paskah dan Hari Paskah. Itu tidak bisa didapatkan umat Katolik setempat setiap tahunnya. Pada Paskah 2021 itu, saya katakan bahwa umat Katolik Tembilahan mendapat kunjungan pastor sehingga butuh kumpul bersama. Kami pun memperjuangkan tetap dapat merayakan Misa Kudus dengan atau tanpa izin pemerintah. Syukurlah, pemerintah daerah kini memberikan pinjaman gedung Engku Kelana, untuk digunakan selama Trihari Suci (Jumat Agung-Minggu Paskah),” ungkapnya.
Saat beribadah, umat Katolik Tembilahan dijaga tentara dan polisi. Pada malam Natal dan Natal 2021, kami juga mendapat berkat kunjungan pastor untuk Misa Kudus di Tembilahan. Tahun ini (2022) juga ada kunjungan pastor pada Februari dan Juni. Mungkin ada yang beranggapan tindakan nekat. Namun, terpaksa dilakukan. Selama pandemi, umat di sini (Tembilahan) tidak bisa berdoa bergiliran di rumah umat, karena bangunan gereja telah disegel – karena harus tetap patuhi Protokol Kesehatan/Prokes. Dengan segala keterbatasan yang ada di Stasi Tembilahan, kunjungan pastoral oleh pastor sebatas penyelenggaraan Misa Kudus.”
Masih Sebatas itu-itu Saja
Umat Paroki St. Yosef Duri-Riau, Widodo Raharjo menambahkan sejauh pengamatan dan pengetahuan, partisipasi umat Katolik dalam kegiatan Gereja masih dilakukan oleh orang-orang tertentu saja. Orangnya itu-itu yang aktif bergotong royong di gereja, kepanitiaan, doa lingkungan, dan kegiatan lainnya. Mereka yang tidak terlibat menggereja seribu satu alasannya. Bahkan ada umat yang tidak mau terlibat sama sekali.
Bagaimana dengan imam/pastor? “Saya merasakan pelayanan imam biasa saja; misalnya pelayanan Misa Kudus di lingkungan, pesta pernikahan, dan kematian. Hanya saja, kunjungan keluarga, kunjungan ke rumah umat, sangat kurang, sementara kehadiran pastor dan suster sangat dibutuhkan. Namun, saya dapat mengerti dan maklumi, karena tenaga pastoral di paroki ini terbatas jumlahnya. Dua pastor dan empat suster melayani umat yang terpencar pada wilayah yang luas,” ucap Widodo.
Kondisi ini tidak hanya terjadi di daerah yang jauh dari pusat paroki. Di lingkungannya, Kring St. Yosef – Wilayah Sebanga 1 yang terletak tidak jauh dari pusat paroki tidak tampak! Segala sesuatunya dirembukkan. Rencana kerja Dewan Pastoral Paroki (DPP) dibicarakan bersama umat. Tentu saja, pendapat pastor akan memengaruhi untuk pengambilan keputusan, terutama terkait hal moral dan ajaran iman.”
Sementara itu, umat Paroki St. Fransiskus Xaverius Dumai, Kristina Efriyanti mengakui tidak semua umat di parokinya aktif menggereja. Ia memberikan skor 75 persen yang aktif menggereja. Selebihnya, 25 persen tidak aktif! Umat yang masuk dalam 75 persen aktif dalam aneka kegiatan di paroki dan lingkungannya,” ucapnya.
Fungsi Pengurus Umat Basis
Mantan Pembimbing Masyarakat (Pembimas) Katolik Kementerian Agama RI Provinsi Sumatera Barat, Bakti P. Siregar, SH mengungkap besarnya fungsi dan peran ketua rayon/kring/lingkungan. Setidaknya dirasakan dan dialaminya selama dua periode sebagai Ketua Rayon St. Dominikus Siteba. Kini Pak Regar membantu istrinya yang dipercaya warga sebagai ketua rayon. Aktivitas dan dinamika rayon tidak luput dari tingkat keterlibatan dan keaktifan pengurus rayon, terkhusus ketuanya,” tukasnya.
Salah satu petugas pembagi Komuni (prodiakon) Paroki St. Fransiskus Assisi Padang ini menyambung bahwa pengurus rayon, terutama ketua, ikut mendorong keterlibatan warganya dalam aktivitas menggereja di rayon?! Dalam hal ini, kalaupun ada peran dari pastor/imam sebatas memberi arahan, mendorong dan memotivasi warga rayon. Saya senang, karena tingkat partisipasi warga rayon tinggi. Memang, selama pandemi Covid-19 ini menjadi serba terbatas. Suatu hal yang dapat dimaklumi,” katanya.
Khusus selama pandemi, sambung Siregar, pengurus rayon berinisiatif menyelenggarakan pertemuan rayon online lewat aplikasi Zoom Meeting. Pengurus rayon juga memberitahu pastor paroki dan ternyata mendapat sokongan. “Rekaman Zoom Meeting disampaikan kepada pastor paroki. Memang, tidak semua warga rayon ikut serta. Hanya 10-an keluarga dari tiga puluhan keluarga warga rayon. Hal ini pun menjadi suatu hal yang patut disyukuri.,” ujar Siregar.
Untuk pertemuan rayon, pengurus rayon tidak selalu mengundang kehadiran pastor, apalagi telah ada bahan/materi pertemuan yang dipasok/diberikan paroki, misalnya untuk Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN), Bulan Rosario atau Bulan Maria. Untuk pendalaman iman, sudah ada bahan/materinya, dapat dilakukan mandiri. Untuk hal tertentu saja pastor dilibatkan khususnya pelayanan sakramen, mengunjungi orang sakit untuk mendapat Sakramen Perminyakan. Pengurus/warga akan damping. Pengurus memberikan data warga yang sakit. Sebelum pandemi, pastor datang dalam rangka ibadat tobat,” ungkap Siregar. Anggota Majelis Permusyawaratan Anggota (MPA) Pusat Perkumpulan Sosial Katolik dan Pemakaman (PSKP) Santu Yusuf Keuskupan Padang ini mengajak untuk memaknai istilah pastorsentris dan partisipatoris secara benar. Bila dimaknai segala-galanya berpusat/bergantung pada pastor tidaklah tepat. Karena partisipasi umat – dalam banyak peluang/kesempatan/ruang dalam kegiatan pastoral ada. Maka dalam menggereja; adakah ‘titik keseimbangan’ ideal pastorsentris dan partisipatoris?
Siregar melihat pada struktur di paroki; yakni pastor paroki dan rekan, DPP – lengkap dengan berbagai seksinya. Dalam tim kalangan awam yang dianggap cocok dan pas dilibatkan. Jadi, tidak hanya pastor saja yang bergerak!” tandasnya.
Bahkan, Siregar menyatakan yakin ruang dan peluang keterlibatan umat menggereja dibuka dan terbuka seluas-luasnya. “Tentu saja, pada hal tertentu wewenang pastor tidak bisa dilampaui atau dilakukan oleh awam; misalnya memimpin Misa Kudus. Kalangan awam terpilih, sebagai prodiakon pada tiga wilayah contohnya, menandakan partisipasi dan pelibatan umat di tengah keterbatasan tenaga imam,” ungkapnya mengakhiri. (hrd)