Bila menelaah isi, pengertian, nilai-nilai dalam Kitab Suci, pastilah tahu seberapa penting dan bergunanya Kitab Suci bagi kehidupan setiap orang. Kitab Suci adalah Sabda/Firman Allah yang ditulis para penulis yang diilhami Allah dan disampaikan Para Nabi – disebut “corongnya” Allah. Para Nabi menyampaikannya kepada umat manusia. Isi Kitab Suci sungguh beragam; misalnya larangan, ajakan, seruan, perintah.
Berdasarkan hasil Konsili Vatikan II – Konstitusi tentang Kitab Suci (Dei Verbum), Kitab Suci adalah kehidupan dan kekuatan umat beriman. Dalam Kitab Suci termuat seluruh sejarah keselamatan, mulai dari Penciptaan hingga Wahyu. Sangat tampak Allah mencintai, mengasihi manusia. Dalam jatuh-bangun manusia hingga akhirnya Yesus menebus manusia. Maka, kalau tidak mencintai Kitab Suci berarti tidak mencintai Kristus! Karena dalam Kitab Suci termuat seluruh kisah tentang Yesus. Mau mengenal Yesus? Bacalah Kitab Suci!
Bila disadari penting dan vitalnya Kitab Suci – juga sebagai Kitab Kehidupan – maka sejumlah langkah dapat dilakukan agar Kitab Suci sungguh menjadi ‘milik’ umat. Pertama, mempunyai atau memiliki Kitab Suci. Diakui, banyak umat Katolik di stasi-stasi, kampung-kampung yang hidup dalam segala keterbatasannya masih sulit mencari, mendapatkannya. Masih banyak umat Katolik yang belum mempunyai Kitab Suci. Kalau tidak punya, tentu tidak ada yang dibaca dan cari tahu isinya. Kemarin, setelah saya lihat terdapat puluhan kardus di Gudang keuskupan berisi Kitab Suci Perjanjian Baru untuk disalurkan kepada umat.
Berkoordinasi dengan Bapa Uskup, dirancang, pada kunjungan Bapa Uskup juga dibawa setidaknya dua kardus berisi Kitab Suci Perjanjian Baru untuk dibagi kepada umat, terkhusus pelajar SMP dan SMA. Sudah dilakukan di Paroki St. Maria Auxilium Christianorum Sikabaluan dan Paroki Keluarga Kudus Pasaman Barat. Para penerima bisa melihat, memegang, merasakan bentuk fisik Kitab Suci, membaca ayat/perikop yang mengena di kalbunya. Tentu ada kenangan tersendiri yang membekas dari momen tersebut. Bagus juga upaya Lembaga Biblika Indonesia (LBI) memberikan keringanan harga sehingga umat dapat memiliki Kitab Suci.
Kedua, membaca Kitab Suci. Ditumbuhkan minat membaca. Bermula dari keingintahuan, membacanya, dan konsisten. Serta mengulang-ulangnya agar tidak lupa. Banyak cerita/kisah, pengajaran dalam Kitab Suci. Untuk hal ini, memang tidak mudah, karena mentalitas minim budaya membaca, parahnya, tidak dibiasakan sedari kecil. Membaca karena keterpaksaan; misalnya karena akan ujian, karena Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) diselenggarakan. Saat seperti ini, barulah Kitab Suci dibuka dan dibaca dari dalam lemari.
Ketiga, memperkenalkan Kitab Suci melalui dialog, diskusi, seminar, bahas dalam Kelompok Kitab Suci (KKS). Ada cukup banyak umat memiliki Kitab Suci tetapi tidak berupaya memahami isinya, karena tidak ada penjelasan atau katekese. Seksi Kerasulan Kitab Suci di paroki atau stasi dapat membantu temukan solusi. Akan terbantu bila ada di antara awam Katolik punya pengetahuan/pemahaman memadai tentang Kitab Suci. Keempat, punya rasa mencintai Kitab Suci. Sebagai buku suci yang kudus, di dalamnya adalah Sabda/Firman Allah. Kitab Suci memuat kisah penyelamatan manusia. Bagaimana sayangnya Tuhan kepada manusia. Juga, jadi pegangan hidup, sumber hidup. Dalam Kitab Suci, kita ditegur, diingatkan, dinasehati. Saat kita membaca Kitab Suci, sebenarnya Yesuslah yang berbicara pada kita. Ada yang mau Tuhan sampaikan kepada kita.
Hal yang memprihatinkan karena di banyak paroki di keuskupan ini tidak mempunyai Seksi Kitab Suci yang khusus menangani kerasulan Kitab Suci. Kalau pun, kerasulan ini menjadi bagian Seksi Katekese. Kalau Kitab Suci memang penting, seharusnya mendapat perhatian tersendiri dalam reksa pastoral paroki setempat. Agar tidak muncul kesan seakan kerasulan Kitab Suci tidaklah penting. Di Dewan Pastoral Paroki (DPP) misalnya, terdapat Seksi Katekese, Liturgi, Sosial, Kepemudaan, namun Kitab Suci jarang ada. Mungkin ada alasan tersendiri. Dalam Konsili Vatikan II, Para Bapa Gereja sangat berharap Kitab Suci semakin dikenal, bahkan diterjemahkan ke dalam bahasa setempat sehingga lebih muda dipahami. Salah satu caranya di Indonesia berupa peringatan Hari Minggu Kitab Suci Nasional (HMKSN). Karena dirasa kurang waktunya, menjadi BKSN.
Hal ini sebagai upaya untuk “mengumatkan Kitab Suci dan meng-Kitab Suci- kan umat”. Menurut saya pribadi, mungkin bagi sebagian kalangan ada kesulitan mengartikannya, terutama “mengkitabsucikan umat”. Saya menafsirkannya ajaran, nilai yang ada dalam Kitab Suci juga ada dalam diri umat bersangkutan secara nyata. Individu bersangkutan menghidupi semua nilai yang ada dan terkandung dalam Kitab Suci (contohnya mengasihi/mencintai sesama, memaafkan, bersikap adil, patuh pada larangan) dalam hidup sehari-hari.
Agar Kitab Suci semakin berperan dalam kehidupan umat, maka banyak cara dan upaya dapat dilakukan. Lebih baik bila dimulai sedari anak kecil, usia dini. Di rumah, anak diajak membaca ayat/perikop Kitab Suci setiap malam bersama anggota keluarga lainnya. Pembacaan Kitab Suci tidak hanya sebatas dibaca, tetapi mulai bertanya, diskusi, sermon (popular di Mentawai), seminar Kitab Suci. Ditanamkan kebiasaan ini terus-menerus yang diresapi, dihidupi, dan dicintai. Selain dalam keluarga, upaya dapat dilakukan di lembaga pendidikan/sekolah dan lembaga keagamaan. Di paroki misalnya, KKS ditangani delegatus Kitab Suci paroki. Bertujuan agar umat semakin mencintai Kitab Suci-nya.
Terkait BKSN, Komisi Kitab Suci meneruskan bahan yang disiapkan LBI. Tema BKSN 2022 “Allah Sumber Harapan Hidup Baru”. Sub-tema “Carilah Tuhan maka kamu akan hidup” (Amos 5:6). Kali ini, LBI ingin memperkenalkan satu-dua Nabi Kecil. Kami harapkan paroki-paroki menindaklanjutinya dengan pertemuan pembahasan Kitab Suci. Sangat penting keterlibatan para pastor, aktivis paroki, para delegatus Kitab Suci di paroki, pengurus Gereja basis. Mari bergerak bersama! Semoga umat semakin mencintai Kitab Suci yang adalah “kompas kehidupan” kita. Bahan yang ada untuk empat kali pertemuan dalam satu bulan. Tema BKSN 2022 sangat relevan dengan situasi masa kini. Orang memang beragama tetapi hidupnya tidak sesuai dengan yang diimaninya, bahkan melawan dan menentang Allah dalam berbagai bidang kehidupan. (Diolah dari wawancara/hrd.)
P. Yakobus Ganda Jaya Nababan, Pr.
Ketua Komisi Kitab Suci Keuskupan Padang