Akhir-akhir ini, viral di kalangan netizen media sosial (medsos) yakni pemberitaan Citayam Fashion Week (CFW). CFW adalah aksi peragaan busana di zebra cross pada kawasan Stasiun MRT, Dukuh Atas, Jakarta Pusat. Layaknya Paris Fashion Week yang terkenal, para ‘model’ berlenggak-lenggok mengenakan busana khasnya sambil menyeberangi jalan. Fenomena ini menular ke daerah lain, termasuk di Bukittinggi dan Pariaman – Sumatera Barat.

Dari aspek psikologi, CFW menggambarkan kebutuhan ruang ekspresi seseorang dalam fase remaja (adolescent). CFW menjadi ajang mereka menunjukkan eksistensi dirinya, terutama di kalangan anak muda kelompok masyarakat bawah. Bahkan, ada pula anggapan, CFW menjadi (simbol) perlawanan terhadap kemapanan. CFW adalah kebutuhan ruang bereskpresi versus tata kota.

Sebagaimana diketahui, sangat kecil punya ruang berekspresi di Jakarta. Citayam adalah daerah sub-urban Jakarta yang banyak penduduknya, bahkan seakan kekurangan tempat untuk mengekspresikan diri warganya – termasuk kalangan anak muda/remaja. Sebenarnya, situasi kondisi seperti ini sangat riskan terhadap kemunculan aksi kriminal dan kenakalan remaja. Hanya saja, yang terjadi, mereka (kaum muda) menunjukkan ekspresi dirinya lewat aksi CFW. Mereka berangkat ke Jakarta untuk berlenggak-lenggok layaknya peragawan-peragawati fashion show, tetapi tempatnya di jalanan. Tujuannya, untuk menunjukkan identitas dirinya dengan mengenakan busana atraktif. Hanya saja, akhir-akhir ini, spotlight CFW seakan direbut para artis ternama. Ruang ekspresi remaja kaum marjinal pun seakan diambil.

Idealnya, pemangku kepentingan memberikan ruang ekspresi kaum muda, seperti CFW. Mereka tidak terlibat kriminalitas tetapi menyalurkan hasrat – untuk menunjukkan ekspresi dan jati diri – lewat aktivitas positif (menurut pandangan saya pribadi). Hanya saja, dalam penelusuran lebih lanjut, lewat serangkaian wawancara, ternyata banyak di antara mereka yang berhenti sekolah. Terjadi pergeseran cita-cita. Di waktu silam, banyak remaja bercita-cita menjadi guru, tentara, polisi, pilot, dan sebagainya. Kini, banyak di kalangan muda tidak lagi bercita-cita demikian. Parahnya, mereka merasa tidak perlu bersekolah. Mereka menganggap lebih gampang mendapatkan duit dengan cara menjadi orang terkenal atau ternama, karena akan banyak pihak yang mendukung (endorse) bersangkutan.

Ada kejadian unik tatkala Roy, salah satu peserta CFW, menolak tawaran beasiswa Sandiaga Uno, seorang konglomerat ternama. Roy berpendapat tidak perlu capek-capek bersekolah. Roy menganggap bersekolah tidak menghasilkan sesuatu, sementara sekarang saja sudah tenar/terkenal. Cukup bermodalkan telepon pintar (smartphone) dan video. Inilah contoh pergeseran cita-cita dan keinginan di kalangan remaja masa kini.

Dari fenomena CFW, disimpulkan bahwa remaja membutuhkan ruang untuk mengekspresikan dirinya. Ada satu fase/tahap, saat remaja tidak mau ‘dicampuri’ oleh orang lebih tua. Maka, idealnya, para remaja diberi ruang berekspresi dan mengekspresikan dirinya. Juga, keterlibatan remaja/kaum muda dalam berbagai kegiatan bersifat keagamaan/rohani, sosial, kesenian, dan olah raga/aktivitas fisik lainnya. Mereka bisa menyalurkan energi dirinya dan mengekspresikan dirinya. Itu satu fase yang positif untuk pencarian jati diri mereka.

Kiranya hal demikian mendapat perhatian keluarga (orangtua), sekolah, dan lembaga keagamaan: remaja mendapat ruang beraktivitas. Lembaga agama kebanyakan hanya ritual saja, kurang ada ruang dan wadah bagi remaja mengekspresikan diri. Misdinar contohnya, tentu tidak sebatas melayani misa! Dibutuhkan juga pengembangan diri mereka sebagai misdinar. Apakah mereka mengerti pelayanan yang dilakukan sebagai manifestasi diri? Atau, apa yang dapat dipetik dalam kehidupan sehari-hari lewat aktivitas misdinar? Nilai-nilai apa saja yang diajarkan dan dapat mengembangkan diri; misalnya lewat rekoleksi serta kegiatan bersama untuk bersosialisasi dengan remaja lainnya.

Demikian juga di lingkungan sekolah. Kalau hanya akademis, peserta didik kurang bisa mengembangkan dirinya. Sekolah pun perlu selalu up-grade dan up-date. Penilaian bukan pada hal-hal yang sudah pasti jawabannya. Tetapi ada analisis kasus atau proyek yang bisa dikerjakan bersama teman. Untuk melatih kerja sama dan mengekspresikan dirinya dalam kelompok, selain menyelesaikan proyek tertentu. ***

Diasuh oleh: Theresia Indriani Santoso, S.Psi., M.Si
(Psikolog, Pendiri SMART PSY Consulting Padang)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *