Romo Kebet membaca sebuah buku yang berisi kumpulan “kisbi” (Kisah Bijak). Pandangannya tertarik pada kisah berikut:
Konon di sebuah padepokan, hiduplah orang Sufi. Ia sedang bersengketa dengan seorang pemilik penginapan. Pokok permasalahan adalah tapal batas tanah milik mereka berdua.
Di saat Sufi itu mengajar para muridnya, datanglah pemilik penginapan itu menyerang Sufi itu dengan kata-kata kasar.
Segala sumpah serapah, ucapan buruk meluncur dari mulutnya untuk menyerang Sufi itu.
Bertengkar hebatlah Sufi itu dengan pemilik penginapan itu.
Dengan tenang, Sufi itu menyambut kedatangan tamu yang marah-marah itu. Ia tetap tenang. Tidak sedikitpun ekspresi marahnya keluar, meskipun sudah dikata-katai dan disumpahserapahi tamunya.
Sesekali si Sufi menjawab seperlunya segala ungkapan tamunya itu.
Para murid Sufi melihat semuanya itu. Mereka terheran-heran dengan kesabaran gurunya. Seorang muridnya terpancing dan mau menyerang pemilik penginapan itu. Sufi itu pun mencegahnya.
Pertengkaran pun berakhir. Pemilik penginapan itu pun pergi. Sama saat datang, dari mulutnya tetap saja keluar sumpah serapah, hujatan ditujukan kepada si Sufi.
Akhir pertengkaran itu, tidak ada kata maaf-memaafkan. Tidak ada rekonsiliasi.
Sufi itu kembali duduk dan menenangkan para muridnya.
“Guru, mengapa Guru begitu sabar dengan segala penghinaan tadi?” tanya seorang muridnya.
“Benar Guru. Kami tidak sabar untuk menghajarnya. Kami tidak terima, Guru disumpahserapahi seperti itu!” timpal murid yang lain.
Setelah duduk, menenangkan murid dan menarik nafas panjang, Sufi itu berkata, “Anak-anakku, jangan pernah menyiram api dengan minyak! Amarah jangan dibalas dengan amarah.
Jangan terpancing! Tetaplah bersikap tenang, meskipun itu sulit. Orang yang sedang mengumbar amarah, akan mengeluarkan segala isi pikirannya tanpa terkendali, tanpa kontrol.”
Sufi itu menyambung, “Orang tadi datang amarah, pulang membawa amarah. Rasa itu akan menyiksa perasaan dan membuat langkahnya seret.
Oleh sebab itu, jangan simpan dendam dan amarah, supaya ringan langkahmu dan cerah pikiranmu”.
Romo Kebet menutup buku itu kembali. Setelah merenung sejenak, Romo Kebet bertanya dalam dirinya, “Bagaimana dengan aku yaa…?” (ws)