Konferensi Waligereja Indonesia (KWI)
PENGANTAR
Dengan penuh suka cita Konferensi Wali Gereja Indonesia menyambut Sinode para uskup dengan membentuk team sinode nasional yang mengumpulkan, menerjemahkan dan mendistribusikan dokumen-dokumen yang diterbitkan Sekretariat Sinode Vatikan kepada para Sekretaris dan Narahubung Keuskupan.
Pada 28 September 2021, seluruh dokumen dikirim kepada para narahubung di 37 keuskupan, Asosiasi para Filsuf dan Teolog Indonesia serta KOPTARI (Konferensi Pemimpin Tinggi Tarekat Religius se-Indonesia). Dokumen beserta dengan penjelasannya dalam Bahasa Indonesia juga dipublikasikan secara terbuka dalam media-media komunikasi sosial milik konferensi wali gereja dan keuskupan-keuskupan.
Sesudah menerima dokumen, para narahubung keuskupan terhimpun dalam satu ruang virtual group aplikasi Whatsapp. Di dalam ruang virtual ini para narahubung saling berbagi kisah, cerita, pengalaman tentang persiapan dan pelaksanaan sinode di Keuskupan dan Lembaga masing-masing.
Pada 17 Oktober, hampir seluruh keuskupan menggelar perayaan Pembuka Sinode di tingkat keuskupan, beberapa memilih hari lain karena alasan yang sangat khusus. Sementara itu tanggal 22 Oktober seluruh narahubung keuskupan dan Lembaga bersama team nasional berkumpul secara virtual untuk saling menginspirasi dalam perencanaan pelaksaan sinode di tingkat keuskupan.
Dalam bimbingan Roh Kudus 37 Keuskupan di Indonesia berjalan bersama membangun persekutuan, mengembangkan partisipasi dan misi, dengan gaya dan cara masing- masing sesuai situasi, kondisi, kemampuan dan kebutuhan masing-masing. Setiap keuskupan memilih satu tema sebagai fokus utama tanpa mengabaikan 9 tema yang lain berdasarkan wilayah gerejani. Banyak keuskupan yang menggunakan metode survey dan konsultasi berjenjang mulai dari komunitas-komunitas basis bahkan dengan penuh keberanian keluar ke masyarakat dan warga beragama lain dalam membangun percakapan dan refleksi bersama.
Para uskup membentuk team sinode tingkat keuskupan yang merancang, mensosialisasi, melaksanakan dan memonitoring percakapan-percakapan spiritual, doa-doa dan refleksi, diskusi-diskusi dan survey di tingkat basis dan paroki entah secara virtual maupun secara langsung. Team sinode tingkat keuskupan menerbitkan buku pedoman sinode yang disusun berdasarkan dokumen dari sekretariat Sinode Vatikan dan Team Sinode nasional. Proses konsultasi secara virtual antar narahubung keuskupan sangat membantu dalam proses penyusunan pedoman sinode di keuskupan masing-masing. Proses jalan bersama dan saling menginspirasi, saling menuntun sangat terasa pada tahap ini. Narahubung yang telah selesai membuat pedoman akan mengirim di ruang konsultasi virtual sehingga narahubung yang lain mendapat inspirasi, petunjuk dan contoh yang baik.
Sesudah 5 bulan bersinode, 23 Maret 2022, para narahubung kembali berkumpul secara virtual dan mengisahkan perjalanan dan buah-buah hasil sinode di keuskupan-keuskupan. Antusiasme umat beriman untuk berpartisipasi sangat tinggi, mereka merasa didengarkan dan sungguh mengapresiasi proses sinode. Proses sinode semakin mendekatkan relasi imam dan umat, menghidupkan nilai-nilai yang selama ini sudah ada tetapi terpendam dan menyadarkan gereja-gereja lokal betapa besarnya pengaruh media komunikasi sosial saat ini. Banyak buah- buah rohani yang sungguh dialami umat beriman, para rohaniwan dan biarawan-biarawati teristimewa ketika merenungkan tentang siapa teman seperjalanan selama ini, apakah ada yang tertinggal, yang tidak bisa berbicara, tidak didengarkan, terbuang dan terpinggirkan. Memuncaki perjalanan sinode tingkat keuskupan yang waktunya diperpanjang 4 bulan ini, keuskupan-keuskupan menggelar perayaan-perayaan pra-sinode dalam perayaan Ekaristi bersama secara meriah dan percakapan-percakapan tingkat keuskupan, kemudian team perumus merumuskan sintesis yang dikirimkan ke panitia sinode nasional sesudah disetujui dan ditandatangani Uskup Diosesan.
Wilayah yang sangat luas, tingkat antusiasme keuskupan-keuskupan yang berbeda-beda, tingkat pemahaman yang tidak sama dan kebutuhan serta kepentingan keuskupan yang beraneka ragam menjadi tantangan tersendiri ketika menemukan variasi hasil sintesis yang terkumpul di tingkat nasional. Hasil variatif ini merupakan kekayaan Gereja Indonesia sebagaimana kondisi umat beriman yang tersebar di banyaknya kepulauan, berbagai macam suku dan situasi konteksnya masing- masing. Bagaimana hasil refleksi umat beriman Indonesia selama Sinode, kita ikut dalam catatan atas 10 tema berikut ini.
TEMAN SEPERJALANAN
Umat katolik di Indonesia memahami Gereja sebagai persekutuan umat yang beriman kepada Yesus Kristus. Dan dalam perspektif Sinode, Gereja Indonesia semakin menyadari bahwa setiap orang dari aneka usia, suku, budaya, agama, dan status sosial-ekonomi adalah teman seperjalanan. Namun kesadaran ini belum sepenunya dimiliki oleh setiap anggota Gereja. Sebagian umat katolik di Indonesia masih memahami bahwa teman seperjalanan adalah orang-orang katolik yang dekat dan terlibat aktif dalam kegiatan bersama. Melalui proses sinode, muncul kesadaran baru bahwa Gereja di indonesia belum sepenuhnya memperhatikan dan melibatkan saudara-saudara yang hidup di periferi dan menjauh dari Gereja, yakni mereka yang berkebutuhan khusus, yang hidup dalam irregulatitas perkawinan, yang berusia lanjut, yang jauh dan tak terjangkau secara geografis, yang berbeda suku serta yang berbeda demoninasi dan kepercayaan. Sinode menjadi kesempatan bagi setiap anggota Gereja untuk secara aktif merangkul dan melibatkan setiap orang dalam hidup Gereja, dan sekaligus secara proaktif menyambut undangan dan melibatkan diri dalam hidup saudara-saudarinya, karena semua adalah saudara (Fratelli Tutti).
Usaha ini tidaklah tanpa tantangan. Dicatat bahwa karena pengaruh budaya dan tuntutan hidup sosial, sekarang ini keterlibatan aktif perempuan dan usia lanjut dalam hidup menggereja jauh lebih besar daripada keterlibatan laki-laki dan orang-orang muda. Situasi ini mau tidak mau membawa perubahan pada cara hidup dan pastoral Gereja, khususnya dalam membangun persaudaraan yang inklusif ketika harus berhadapan dengan sikap apatis, penolakan dan permusuhan dari masyarakat sekitar karena perbedaan paham, agama, dan kepercayaan bahwa masih banyak umat katolik, baik perempuan maupun laki-laki, tua dan muda, yang sungguh-sungguh terlibat aktif dalam kehidupan menggereja dan dalam membangun persaudaraan yang semakin inklusif di tengah masyarakat.
Dalam kesadaran bahwa kebaikan pribadi tidaklah mungkin tanpa kebaikan bersama, makaagar semakin mampu menjadi teman seperjalanan diperlukan keutamaan-keutamaan ini: komunikasi, dialog, kerendahan hati, proaktif, rasa memiliki, tanggungjawab, mengutamakan kepentingan/kebaikan bersama, serta merangkul yang berbeda dan yang membebani. Buah-buah dari kesadaran ini nampak dalam sikap hormat akan perbedaan sebagai anugerah bagi hidup bersama, hidup ketetanggaan dan persaudaraan.
MENDENGARKAN
Melalui percakapan rohani yang dimulai dari tingkat basis, Gereja semakin menyadari makna dari mendengarkan. Setiap orang memiliki kebebasan untuk berbicara dan untuk mendengarkan. Semua mempunyai kedudukan dan hak yang sama. Dalam mendengarkan, umat fidak hanya memahami secara lebih mendalam mengenai pikiran, perasaan dan kekayaanhidup serta potensi yang ada di dalam diri orang lain, tetapi juga mengenal Tuhan yang sedang berbicara dan menyampaikan pesannya secara pribadi melalui orang lain itu. Mendengarkan menjadi kunci utama dalam mencari dan merangkul orang menjadi teman seperjalanan. Selama proses sinode, melalui sapaan dan mendengarkan langsung, para gembala Gereja terbantu untuk semakin – mengenal secara nyata dan tepat situasi, kebutuhan, dan inspirasiumat. Menyapa dan mendengarkan merupakan langkah awal dan sekaligus keutamaan hidup dan karya Gereja.
Menyapa dan mendengarkan selalu akan membawa perubahan baik pada diri kita yang mendengarkan maupun pada orang kita dengarkan. Maka selalu muncul kegembiraan dalam diri umat ketika kisah dan pergulatannya didengarkan Menyapa dan mendengarkan ini bukan hanya untuk para gembala, tetapi juga keutamaan bagi setiap anggota Gereja. Tantangan yang kerap kali dialami dalam menyapa dan mendengarkan adalah prasangka, tuntutan, ketidaksiapan untuk menerima apa yang tidak ingin didengarkan. Hal ini lebih sering terjadi terutama ketika harus mendengarkan mereka yang jauh, yang lemah, yang “pernah menyakiti”, yang suaranya selama ini tidak terdengar, dan yang tidak diperhitungkan dalam kebijakan pastoral.
Selain mendengarkan setiap pribadi, semakin disadari pulas bahwa Gereja perlu secara khusus mendengarkan situasi kehidupan masyarakat sekitar, terutama mereka yang mengalami ketidakadilan dan kesulitan hidup. Proses mendengarkan dan berbicara mempertajam kemampuan Gereja untuk menangkap tanda-tanda jaman dalam hidup bermasyarakat dan dalam melestarikan keutuhan alam ciptaan. Mendengarkan tidak hanya memampukan Gereja untuk menangkap situasi dan persoalan tetapi juga membuatnya semakin mengetahui serta mengenali aneka komunitas dan lembaga yang mempunyai keprihatinan bersama dan berdialog mencari jalan keluar yang lebih baik.
Berbicara
Dalam proses percakapan rohani selama sinode, umat belajar pentingnya berbicara, karena diyakinkan bahwa sesederhana apapun yang diungkapkan akan menjadi penting dan berharga bagi orang Jain, dan karena itu pasti didengarkan. Berbicara dimulai dari keluarga dimana dalam hidup sehari-hari setiap anggota dengan bebas berbicara dan mengungkapkan diri apa adanya. Kebiasaan itu juga secara alamiah akan terpancar dalam kehidupan sehari-hari di ruang publik masyarakat.
Dalam kehidupan menggereja, disadari bahwa selama ini banyak anggota keluarga katolik yang cenderung diam dan tidak banyak bersuara. Harus dikatakan bahwa pembicaraan mengenai hidup dan karya Gereja lebih banyak didominasi oleh para gembala dan para aktifis Gereja, yang memang lebih mengenal dan mengetahui dinamika hidup Gereja. Dalam proses sinode, disadari pentingnya menemukan cara dan memberi kesempatan kepada umat selama ini cenderung diam/bungkam agar berani untuk menyampaikan pendapat dan aspirasinya. Penting juga bagi gembala untuk menghargai setiap pendapat, pandangan, dan usulan umat.
Dalam proses sinode juga direfleksikan agar Gereja tidak disibukkan dengan urusan internal saja, tetapi juga perlu lebih berani bersuara guna memberikan suara kenabian di tengah masyarakat. Suara kenabian Gereja ini dapat dikembangkan secara bersama-sama oleh gembala dan awam melalui lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan dan politik. Karena itu Sinode mendorong penting dan mendesaknya kaderisasi awam sebagai penggerak hidup bermasyarakat. Gereja harus memerhatikan substansi (content) informasi supaya sungguh- sungguh menyerukan kebenaran dan keadilan, tidak mudah direkayasa, sekaligus bersifat counter-hoax. Minat dan suara kenabian Gereja kadang terbentur dengan politisasi agama.
Semakin disadari, terutama selama masa pandemi, bahwa Gereja perlu lebih memanfaatkan teknologi dan media komunikasi digital sebagai cara pewartaan karena media digital menjadi bagian integral pembentukan hidup manusia. Gereja perlu lebih kreatif dalam pewartaan iman, dengan isi yang menarik sesuai dengan jaman dan minatnya. Penting juga pembinaan digital untuk para gembala, para fungsionaris Gereja, dan secara khusus generasi muda.
(Bersambung….)