Konferensi Waligereja Indonesia (KWI)
PERAYAAN

Ekaristi menjadi tempat pertama dan puncak dalam perayaan hidup umat beriman. Dalam Ekaristi ini seluruh umat beriman, baik yang tua maupun yang muda serta anak-anak, berpartisipasi secara aktif dan menemukan makna hidupnya. Kerinduan umat akan Ekaristi ini sangat dirasakan selama masa pandemi Covid-19, yakni ketika mereka hanya dapat mengikuti perayaan Ekaristi secara live streaming. Misa live streaming dan komuni batin tidak mampu sepenuhnya memenuhi kerinduan umat untuk secara langsung hadir dalam Ekaristi dan menyambut Tubuh dan Darah Kristus. Untunglah pada masa pasca pandemi ini, umat kembali mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi langsung dalam Perayaan Ekaristi, meskipun masih ada juga kelompok umat yang lebih memilih perayaan Ekaristi secara online daripada
Kita catat bahwa sekarang tingkat kehadiran umat semakin lama semakin meningkat. Meskipun demikian, selama proses sinode ini muncul kesadaran pula bahwa masih ada sebagian umat beriman yang masih memandang Ekaristi sebagai perayaan formalitas, dan kurang menyentuh hati.

Doa harian menjadi nafas dalam hidup harian umat. Kebiasaan doa ini lebih dihayati sebagai aktifitas pribadi yang memberi kekuatan rohani, terutama ketika menghadapi masalah atau kesulitan hidup yang berat, seperti selama masa pandemi Covid-19. Namun perlu dicatat pula di banyak tempat, umat beriman memiliki kebiasaan doa bersama, baik dalam keluarga maupun lingkungan atau komunitas basis, melalui doa, umat mengalami pertolongan Allah terutama pada masa-masa sulit. Keinginan umat untuk membaca, mendalami dan merenungkan Kitab Suci semakin bertumbuh bersamaan dengan munculnya aneka gerakan baca Kitab Suci dan kelompok pendalaman Kitab Suci. Umat tidak meragukan kebenaran Kitab Suci namun memunculkan aneka pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang memuaskan dan dapat dimengerti. Penjelasan Kitab Suci melalui homili dirasakan kurang mengge­rak­kan umat. Karena itu diperlukan model katekese Kitab Suci apologetik yang sederhana dan mudah diakses.

BERBAGI TANGGUNGJAWAB

Di dalam Gereja, ada gambaran yang positif bahwa seluruh unsur umat, atas dasar Sakramen Baptis, mengambil bagian secara aktif dalam kehidupan dan misi menggereja, terutama dalam kegiatan-kegiatan intern Gereja: katekese, liturgi, diakonia dan koino­nia atau tindakan karitatif. Hampir dalam setiap kegiatan Gereja, umat mengambil tanggungjawab secara aktif. Ada banyak komunitas dan kelompok umat yang berkembang di dalam Gereja dengan segala aktifitasnya. Gambaran bahwa imam dan religius sebagai penggerak misi Gereja masih sangat kuat dalam diri umat, walaupun ada beberapa gerakan misi umat dan sekolah misi yang berkembang di aneka keuskupan. Komunitas hidup bakti dan aneka kelompok di paroki perlu lebih diperhatikan, dilibatkan dan didampingi sebagai bagian integral. Diperlukan juga aneka bentuk formatio misi umat, terutama kaum muda, remaja, dan anak-anak.

Tanggung jawab misi ada extra lebih menjadi tanggung jawab umat, yang tampil secara publik menjadi wakil Gereja di tengah masyarakat. Peran imam sebagai tokoh masyarakat masih perlu ditingkatkan, sehingga tidak hanya berfokus pada pelayanan intern Gereja. Umat mengambil bagian dalam karya pelayanan sosial politik dan kemasya­rakatan sebagai pengurus atau tokoh. Kesa­dar­an umat bahwa karya-karya itu menjadi bagian dari misi masih belum sangat terben­tuk, karena terbatasnya formatio iman dan moral kristiani untuk para profesional dan tokoh masyarakat.

Gereja menyadari sebagai bagian integral dari negara dan bangsa. Maka dari itu Gereja juga secara aktif mengambil bagian dalam tanggungjawab masyarakat sebagai bagian dari hidup berbangsa dan bernegara. Pembinaan kebangsaan sejak dari anak-anak menjadi salah satu bagian penting dalam membangun identitas bangsa Kerjasama antara Gereja dan pemerintahsemakin bertumbuh dan berkembang dengan berbagai macam kegiatan bersama dan pengambilan kebijakan pemerintah dalam mengusahakan bonum commune.

Dengan hadirnya isu-isu agama yang kerap kali menjadi potensi konflik di tengah masyarakat,Gereja mengambil bagian secara aktif dengan membangun kerjasama dan dialog dengan paratokoh agama dan kepercayaan lain. Kerjasama antar tokoh agama itu dibentuk dalam sebuahforum kerjasama dan diwujudkan dalam kebersamaan dalam merespon isu-isu sosial masyarakat. Isu-isu konflik antara umat beragama banyak tertangani karena kerjasama yang baik ini.

DIALOG DALAM GEREJA DAN MASYARAKAT

Dialog merupakan cara hidup di keuskupan-keuskupan di Indonesia. Di dalam Gereja sendiri dialog terjadi antar berbagai anggota yang beragam mulai dari pribadi-pribadi anggota umat, dalam kelompok-kelompok teritorial maupun kategorial. Dialog juga terjadi pada berbagai tingkat. Ada proses dialog dalam menentukan kebijakan pastoral pada tingkat paroki yang didahului proses di tingkat lingkungan. Di tingkat dekenat (kevikepan) ada rekoleksi, pertemuan pastoral rutin, demikian pula di tingkat keuskupan dilaksanakan pertemuan-pertemuan rutin yang melibatkan para petugas pastoral.

Di Indonesia yang plural, dialog Gereja dengan masyarakat terjadi pertama-tama dalam hidup sehari-hari (bakti sosial, bersilaturahmi, menjaga keamanan ketika umat beragama lain beribadat, tolong menolong dalam kaitan dengan kedukaan, dll). Dialog juga merupakan sarana yang dipakai dalam menyelesaikan konflik dalam masyarakat, menyuarakan kebenaran, keadilan dan damai. Demikian pula dialog dengan masyarakat seringkali terjadi dalam kerjasama (gotong royong) untuk mengatasi masalah kemiskinan, menolong mereka yang menderita dan melawan perusakan alam. Dialog dan kerjasama dengan masyarakat yang beragama lain membawa dampak positif bagi pribadi (pemahaman yang lebih baik tentang agama lain dll) maupun bagi hidup bersama (rukun, damai, rasa aman dll). Dalam dialog dan kerjasama itu umat kristiani sekaligus memberikan kesaksian tentang iman akan Yesus Kristus dan ajaran-Nya.

Praktek dialog tidak selalu berjalan mulus. Kurang mengenal satu sama lain, persaingan tidak sehat, rasa minder sebagai kelompok kecil, kecurigaan akan kristenisasi, perbedaan pilihan politik, politik balas dendam merupakan contoh hal-hal yang mempersulit dialog, bahkan menyebabkan terjadinya konflik.

Di dalam Gereja konflik dapat terjadi antara umat sendiri (tidak taat pada kesepakatan bersama, kecemburuan sosial, merasa kelompoknya lebih hebat dari yang lain dil). Konflik juga terjadi antara imam dengan umat (keterlambatan dalam pelayanan ibadat, kurang transparan dalam pengelolaan keuangan dan aset Gereja, iuran pembangunan yang membebani, sikap pilih kasih dalam pelayanan, sosialisasi kebijakan pastoral yang kurang baik, mimbar sabda digunakan untuk menyinggung perasaan umat, pengabaian atas himbauan pastoral dil). Konflik dapat diatasi melalui mediasi dan komunikasi melalui berbagai wadah gerejawi seperti lingkungan/KBG, stasi, paroki, keuskupan.

Konflik juga dialami Gereja dengan komunitas budaya, agama dan kepercayaan lain (disebabkan karena perbedaan aturan pengesahan ikatan perkawinan beda agama, praktek ibadah keagamaan yang mengganggu kenyamanan publik, pelecehan atribut agama lain, pindah agama karena alasan tidak wajar dll). Gereja seringkali memainkan peran penting dalam upaya mengatasi konflik dalam masyarakat. Hal itu terjadi dengan ikut serta dalam berbagai forum dialog. Upaya mengatasi konflik dapat terjadi dengan saling memaafkan, berbicara bersama, mendoakan pihak yang berkonflik, bersikap terbuka dan hormat pada keragaman suku, budaya dan agama, aktif terlibat membangun kerjasama dalam menyelesaikan persoalan ekonomi, politik. Melibatkan para tokoh adat, tokoh agama dan pemerintah merupakan faktor penting dalam upaya mengatasi konflik.

Disadari, bahwa kita dapat belajar juga dari pengalaman konflik. Pengalaman konflik dapat menjadi tempat belajar untuk makin bertumbuh sebagai komunitas. Untuk itu diperlukan jiwa besar, saling hormat, belarasa, kerendahan hati, kesediaan untuk mendengarkan, dan upaya untuk memahami orang lain dengan lebih baik.

EKUMENE

Keuskupan-keuskupan di Indonesia telah berusaha mewujudkan apa yang didoakan Yesus (Yoh 17) bagi persatuan para pengikut-Nya. Relasi ekumenis sudah dipraktekkan di dalam keluarga-keluarga yang anggotanya berasal dari berbagai denominasi. Untuk itu dibutuhkan kesediaan untuk saling menerima dan menghargai perbedaan. Kerjasama ekumenis juga terjadi dalam aktivitas sehari-hari (perjumpaan di dunia pekerjaan, hidup bertetangga, kerjabakti/gotong royong). Berbagai bentuk kerjasama ekumenis lain terjadi di bidang kerohanian dan peribadatan (ibadat ekumenis, tukar mimbar, kerjasama dalam menerjemahkan Kitab Suci), di bidang sosial kemasyarakatan (menolong yang miskin dan menderita, membentuk lembaga lintas denominasi untuk saling membantu di saat kedukaan, membangun perdamaian), di bidang pendidikan (pertukaran dosen teologi, kerja sama dalam mengembangkan sekolah), di bidang kerjasama antar tokoh agama lintas denominasi, di bidang kesehatan.

Dialog dan kerjasama ekumenis mengha­silkan buah-buah yang baik, yaitu saling mengenal dan menghargai, saling belajar, berbagi dalam suka dan duka, menumbuhkan rasa solidaritas. Khusus untuk tempat-tempat di mana mayoritas masyarakat beragama protestan, Gereja katolik tidak dipandang sebagai saingan dan ancaman. Di tempat-tempat itu umat katolik dipersilahkan menggunakan fasilitas desa untuk beribadah dan membangun simbol-simbol katolik.

Kerjasama ekumenis tidak selalu berjalan mulus. Berbagai hambatan dan kesulitan yang menjadi tantangan yang harus terus berusaha diatasi adalah:
(a) Adanya kekuatiran atas pindahnya umat katolik ke denominasi lain:
(b) Perbedaan dalam ajaran yang disikapi dengan tidak bijak dan sikap fanatik. Ajaran Gereja katolik tentang Maria, pembaptisan pengakuan dosa, ekaristi sering dianggap keliru dan menjadi alasan untuk saling membenci,
(c) Agama sering dipakai sebagai alat untuk memainkan politik identitas, sehingga menimbulkan perpecahan:
(d) Minimnya wadah tetap untuk berdialog sehingga tidak tercipta program yang terstruktur dan rutin,
(e) Banyaknya konten di media sosial yang memupuk sikap fanatik dan menyerang Gereja tertentu:
(f) Pemahaman yang kurang mendalam tentang iman katolik sehingga banyak umat yang takut untuk berdialog dengan denonunasi lain:
(g) Di wilayah mayoritas katolik kadang ada umat yang bersikap arogan sehingga menimbulkan sikap curiga dari penganut denominasi lain, apalagi bila disertai dengan kenangan buruk akan relasi dari masa lampau yang tidak harmonis.

Di masa depan, Gereja diharapkan untuk mendorong partisipasi para tokoh umat yang lebih banyak dalam membangun dialog. Seluruh umat juga perlu dimotivasi untuk tidak takut membangun relasi dan kerjasama dengan umat dari denominasi lain. Kerjasama dapat dilakukan misalnya dengan bersama-sama memperjuangkan keadilan dan kebenaran, mengupayakan perwujudan hak asasi manusia, membela yang miskin dan mengatasi masalah- masalah ekologis. Gerakan ekumenis perlu dikatekesekan sejak awal kepada anak-anak, remaja dan kaum muda melalui pembinaan berjenjang sehingga mereka kemudian siap berpartisipasi dan bekerja sama dengan saudara-saudarinya dari komunitas Kristen lain.

(Bersambung….)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *