Senja itu, Romo Kebet duduk-duduk di serambi pastoran. Romo Kebet membolak-balik buku untuk mendapatkan inspirasi khotbahnya.
Pandangannya tertuju pada satu halaman berisi kisah pendek berikut:
Hiduplah seorang raja yang bijak. Raja ini senang keluar dari istana, blusukan ke pelosok negerinya. Sambil blusukan, raja itu mengamati karakter rakyatnya. Suatu hari, raja itu menaruh sebuah batu besar di persimpangan jalan. Lalu raja bersembunyi di balik semak-semak. Beberapa saat kemudian, lewatlah dua orang saudagar kaya. Mereka menaiki kendaraan mewah.
Melihat batu besar yang menghalangi jalan, mereka menggerutu. “Hah…. bagaimana ini? Mengapa pejabat dan masyarakat sini membiarkan saja batu besar ini menghalangi jalan. Ada batu besar, dibiarkan saja. Di mana kepedulian mereka,” ucap salah satu saudagar itu kesal.
“Sebaiknya kita berbalik arah saja. Kita cari jalan lain”, kawannya menimpali.
“Benar! Tidak ada waktu bagi kita untuk menyingkirkan batu ini. Kita terlambat nanti menemui rekan bisnis. Rugi kita.” jawab saudagar pertama.
Karena memasuki daerah baru, mereka tidak tahu jalan. Mereka berputar-putar hingga akhirnya gagal bertemu rekan bisnisnya.
Beberapa jam kemudian, datanglah seorang ulama. Melihat jalannya terhalang, ulama itu berhenti. “Tuhan, gerakkanlah hati dan perasaan umat-Mu, agar mereka menyingkirkan batu ini sehingga tidak mengganggu banyak orang,” katanya.
Ulama itu memilih tidak melanjutkan perjalanan. “Kalau saya bersihkan batu, terlambat saya sembahyang.” katanya. Ia memilih kembali pulang.
Setelah ulama itu berlalu, datanglah seorang petani memikul sayur dan buah-buahan hendak ke pasar.
Petani itu kaget, karena batu besar menghalangi jalanan. Petani itu menghentikan langkahnya. Ia menepi. Diturunkannya barang bawaanya dan diletakkan di tepi jalan.
Petani itu mendorong batu itu. Berat. Sejenak ia berhenti karena kelelahan. Kemudian ia melanjutkan mendorong batu hingga tidak menghalangi jalan. Batu itu pun bergeser ke pinggir. Jalan kembali normal.
Petani itu kembali ke tempat ia meletakkan barang-barangnya. Ia kaget bukan kepalang, karena di atas barang bawananya sekantong koin emas dengan tulisan: “Kuberikan emas ini sebagai hadiah atas ketulusanmu, yang berbuat baik tanpa pamrih. Kamu layak mendapatkan ganjaran!” Petani bersujud syukur.