Dalam setahun, kunjungan pastoral ke Wilayah Sagulubek berlangsung tiga kali. Yang pasti, pada setiap kunjungan ke wilayah ini – terdapat tujuh stasi – berlangsung Perayaan Ekaristi yang dipersembahkan pastor. Kalau tidak ada halangan, biasanya dua pastor sekaligus ‘turun’ ke lapangan. Namun, kalau ada halangan tertentu, terpaksa hanya seorang imam yang turun ke lapangan. Secara geografis, jarak antarstasi pun berjauhan dan mesti menggunakan prasarana-sarana yang berbeda-beda pula.

Terkait penerimaan Sakramen Tobat, dari pengalaman saya, terlihat masih minim antusiasme umat. Hanya saja, di sisi lain, waktu kunjungan pastor pun dirasa sangat singkat. Jujur, selama ini, ‘kebiasaan’ yang terjadi tatkala penerimaan Sakramen Tobat: langsung tanpa ibadat Sakramen Tobat! Ketika imam telah menggunakan stola dan duduk di bagian altar, umat langsung melakukan pengakuan dosa secara bergiliran. Ada kesan, karena tanpa ibadat Sakramen Tobat, seakan berlangsung terburu-buru dalam waktu kunjungan yang sempit. Biasanya, kunjungan pastoral ke Wilayah Sagulubek berlangsung selama lima hari untuk layanan di tujuh stasi. Tentu saja, hal ini juga tidak luput dari cuaca saat kunjungan tersebut. Kalau tiba-tiba cuaca memburuk dalam perjalanan, tim pastoral akan menginap di Pulau Jujuat, melewati Desa Taileleu, Kecamatan Siberut Barat Daya.

Kunjungan pastoral berlangsung tiga kali setahun, yakni saat masa Prapaska/Paskah, September/Oktober, dan saat Adven (Desember). Untuk Wilayah Sagulubek, diupayakan agar semua stasi mendapat kesempatan kunjungan pastor, sekali pun tidak ada sakramen selain Perayaan Ekaristi. Berapa jumlah umat yang menerima Sakramen Tobat pada tiap kunjungan di stasi tersebut? Hal itu tergantung pada jumlah umat stasi bersangkutan. Karena jumlah umat tiap stasi berbeda, saya pun tidak bisa memastikan jumlah di setiap stasi. Kalau di Stasi Sagulubek, terdapat 15-20 umat yang menerima Sakramen Tobat. Kalau waktunya masih ada, bisa mencapai 30-an orang. Biasanya, penerimaan Sakramen Tobat berlangsung sebelum Perayaan Ekaristi. Biasanya, setelah itu, pastor pun siap-siap untuk berangkat, menuju ke stasi lain. Atau, kalau hari Minggu, tim akan bersiap kembali ke pastoran.

Yang pasti, pastor selalu memberi kesempatan bagi umat yang mau menerima Sakramen Tobat. Sebenarnya, karena kunjungan pastor sedikit dalam satu tahun, maka saya berpendapat umat pun sebenarnya sangat merindukan pelayanan Sakramen Tobat. Jadwal kunjungan pastoral telah diketahui pengurus dan umat stasi dua bulan sebelumnya. Maka, waktu yang ada digunakan untuk persiapan sakramen. Biasanya, pelayanan sakramen-sakramen, khususnya Sakramen Tobat dilakukan sebelum ibadat hari Minggu. Biasanya, sekali-dua kali dalam sebulan. Cara tersebut ditempuh, sebagai langkah antisipasi. Sebab, kalau dicari waktu khusus hanya untuk katekese Sakramen Tobat malah bakal sedikit umat yang bisa mengikutinya. Perlu kiat tersendiri berkatekese.

Pengamatan saya, pada umumnya, kalangan dewasa menerima Sakramen Tobat. Beberapa umat kalangan Orang Muda Katolik (OMK) juga ambil bagian. Namun, kalau dipersentasekan antara umat penerima Sakramen Tobat dengan total umat stasi setempat sangat kecil. Dugaan saya, karena terkadang waktu yang tersedia untuk penerimaan Sakramen Tobat – sebelum Misa Kudus – berlangsung singkat. Di sisi lain, masih terlihat kurang antusiasme umat. Hal itu terjadi karena umat terkadang datang ke gereja bertepatan waktunya saat Misa Kudus akan mulai.

Saat berkatekese tentang Sakramen Tobat kepada umat, disampaikan bahan/materi mengenai tata cara penerimaan Sakramen Tobat, makna dan tujuannya. Saya biasanya menggunakan bahan yang ada dalam buku Puji Syukur. Apakah hanya katekis yang menyampaikan bahan? Karena antarstasi berjauhan, maka biasanya katekese pertama dan kedua saya sampaikan. Selanjutnya oleh Seksi Katekese Petugas Pastoral Paroki (P3) maupun baja’ gereja setempat. Tentu saja, dalam hal ini, saya ‘membekali’ seksi katekese atau pengurus stasi dalam satu pertemuan bersama. Pada kesempatan itu, saya tidak hanya memberi bekal berupa katekese Sakramen Tobat saja, melainkan beberapa bahan katekese beberapa sakramen yang umum terjadi; misalnya baptis, Ekaristi, perkawinan. Saat pembahasan tentang Sakramen Ekaristi misalnya, saya selipkan juga pembahasan Sakramen Tobat.

Bila dibandingkan sakramen lainnya, terlihat penerimaan Sakramen Tobat sangat minim keikutsertaan/partisipasi umat. Selain itu, juga masih ada anggapan bahwa pengakuan dosa bisa langsung disampaikan kepada Tuhan. Hal itu tentu tidak luput dari pemahaman umat setempat. Selain lewat langkah berkatekese sekali dua kali sebulan sebelum Perayaan Sabda, cara lainnya berupa pendekatan dengan umat agar lebih aktif menggereja. Ketika cara pendekatan dilakukan dan ditanggapi positif, maka umat akan lebih mudah diarahkan. Sejauh ini, saya masih terus berupaya lewat kunjungan-kunjungan agar semua umat di Wilayah Sagulubek ini dapat terlayani dengan baik. Memang, ada kalanya, saya menjadi kewalahan untuk aktivitas kunjungan tersebut agar semua stasi mendapat perhatian dan waktu yang sama.

 diolah dari wawancara Stepanus Sakakadut, S.Ag.
Katekis Paroki St. Maria Diangkat ke Surga Siberut, Kepulauan Mentawai/hrd.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *