Salam belas kasih,
Saudari dan saudara yang budiman, umat se-keuskupan Padang dan para pembaca Gema yang dikasihi Tuhan, Masa Prapaskah baru saja dimulai, sesudah perayaan-perayaan di sekitar Tahun Baru Imlek. Tentunya, kita tidak mau terlena dengan pesta pora. Bacaan-bacaan liturgis yang menarik dalam Masa Prapaskah ini mengundang kita untuk mengisi masa persiapan ini dengan semangat pertobatan yang sejati. Namun, apa sesungguhnya “pertobatan” yang dimaksud?
BERTOBAT BERARTI MENEMUKAN KEMBALI SIAPA SESAMA KITA
Dengan kata “janganlah” yang diulang-ulang sampai 18 kali, penulis Kitab Imamat 19:1-2.11-18 kedengarannya seperti mengungkapkan satu rangkaian larangan. Aturan moral atau keagamaan dalam bentuk larangan sekeras apa pun menjadi tanpa arti jika tidak dipahami bahwa dasarnya ialah pengenalan akan Allah dan sesama. Tuhan ditemukan justru dalam diri sesama saudara yang paling membutuhkan dan menderita. Perhatian dan kasih kepada kaum papa miskin itulah jalan pengudusan kita, sebagaimana ditekankan dalam perumpamaan terkenal tentang penghakiman terakhir yang juga dibacakan di awal Masa Prapaskah ini (lihat Mat. 25:31-46). Jika tidak demikian, pelayanan seluhur apa pun hanya merupakan satu doa yang penuh rasionalisasi spiritual: “Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar, atau haus, atau sebagai orang asing, atau telanjang atau sakit, atau dalam penjara dan kami tidak melayani Engkau?” (Mat. 25:44). Dengan sedikit mengganti ungkapan St.Ireneus yang terkenal, Jon Sobrino, teolog dari El Salvador pernah mengatakan: Gloria Dei vivens pauper “Kemuliaan Allah adalah kaum miskin yang hidup,” karena masih banyak orang yang mengaku murid Kristus, tetapi tidak mampu mengenali Allah dalam diri mereka yang paling hina.
BERTOBAT BERARTI BERBAGI REZEKI DAN PENGAMPUNAN
Doa Bapa Kami yang diajarkan oleh Tuhan sendiri merupakan doa pengenalan yang sejati, yang murni dan “tidak bertele-tele”. Memanggil Allah sebagai Bapa berarti mengakui kenyataan keputeraan kita, mengakui bahwa kita ini anak yang tergantung sepenuhnya pada Bapa, mulai dari kebutuhan yang paling mendasar: “makanan secukupnya pada hari ini” (Mat. 6:11). Terjemahan dalam doa Bapa Kami bahasa Indonesia memakai kata “rezeki” yang bernuansa lain, yang lebih mengandung resiko: makanan yang cukup untuk sehari itu tidak banyak, tetapi tetap harus dibagi bersama. Itulah sebabnya dikenal sebagai doa Bapa Kami, karena di dalamnya ada pengenalan akan yang lain sebagai satu saudara sebapa, yang terus menerus harus belajar saling mengampuni. Itulah sebabnya kehendak Allah dalam kata-kata: “Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga” pertama-tama bermakna pengampunan, karena kata Yesus: “jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu” (6:14-15). Hanya dalam semangat rekonsiliasi itu doa Bapa Kami tidak menjadi doa yang “sia-sia,” melainkan doa yang efektif melakukan kehendak Tuhan sendiri (bdk. Yes. 55:11), sebagai doa persaudaraan murid-murid Kristus, karena “manusia hidup bukan dari roti saja” (Ul. 8:3), melainkan dari setiap sabda yang keluar dari mulut Allah, yakni sabda kerahiman-Nya.
BERTOBAT BERARTI PULANG KEMBALI UNTUK LEBIH MENGENAL SIAPA ALLAH
Penulis kitab Yunus, bab 3:1-10 menyingkapkan satu misteri yang tidak mudah dipahami dalam bahasa manusia. Pemberitaan Nabi Yunus telah mengakibatkan satu gerakan perkabungan nasional yang mengungkapkan sikap tobat bersama. Raja pun turun tahta dan duduk di atas abu. “Ketika Allah melihat perbuatan mereka itu, yakni bagaimana mereka berbalik dari tingkah lakunya yang jahat, maka menyesallah Allah karena malapetaka yang telah dirancangkan-Nya terhadap mereka, dan Iapun tidak jadi melakukannya.” (Yun. 3:10). Allah yang abadi dan tidak berubah saja dikatakan “menyesal” tetapi manusia yang fana mudah merasa ragu dan tidak percaya, berpikir bahwa kerahiman Tuhan itu terlalu mahal, maka tidak pernah pula berhenti meminta tanda. Justru semakin banyak orang dikelilingi tanda-tanda, hatinya bisa menjadi semakin tumpul untuk mengenali kehadiran Allah, bila tidak pernah berusaha bertobat dan keluar dari diri sendiri untuk belajar “mendengar” yang lain (bdk. Luk 11:31-32). Itulah sebabnya Yesus mengecam orang-orang sebangsa-Nya yang tidak berusaha memahami Kitab Suci, karena nabi Yesaya juga pernah mengatakan: “Lembu mengenal pemiliknya, tetapi Israel tidak; keledai mengenal palungan yang disediakan tuannya, tetapi umat-Ku tidak memahaminya.” (Yes 1:3). “Iman yang tidak membuat kita bertanya diri itu justru iman yang perlu dipertanyakan; iman yang tidak menggoncangkan kita itu justru iman yang perlu digoncang… ketika harus menerima Allah lahir dan lahir kembali dalam palungan… dan nampak di antara yang hina dan papa.” (pesan Natal Paus Fransiskus, 21 Desember 2017).
Menurut nabi Yehezkiel, kebenaran manusia di hadapan Allah ditentukan oleh sikap dan pilihannya (Yeh. 18:21-28). Allah tidak menghendaki kematian orang fasik, seberapa pun besar penghianatannya. Hukuman mati tidak pernah mendapat tempat di mata Allah. Di hadapan Allah jelas perbedaan antara perbuatan dosa dengan si pendosa yang mampu bertobat dan pantas menerima hidupnya kembali. Orang mungkin mengukur kebenaran dan keadilan dari apa yang nampak dilakukan, tetapi Allah melihat hati (bdk. 1Sam. 16:7). Oleh karena itu, yang harus lebih diwaspadai sebaliknya adalah kemunafikan yang justru mampu membutakan orang dari undangan pertobatan yang sifatnya universal, berlaku bagi semua. Kebenaran hidup keagamaan para murid Kristus ditentukan oleh kemampuannya untuk melepaskan topeng-topeng kemunafikan itu dan mengakui kenyataan diri sebagai pendosa yang dipanggil untuk terus menerus bertobat. Kemunafikan membuat gambaran yang keliru tentang Allah, sehingga menjadi halangan untuk masuk dalam Kerajaannya (lih. Mat. 5:20-26). Pertobatan itu sendiri tanda keterbukaan kepada Allah. Dengan bertobat, “pulang kembali” kepada Allah, orang memberi kesempatan kepada Allah untuk meraja atas dirinya, untuk menciptakan hati yang baru dalam dirinya (bdk. Mzm. 50:12).
† Mgr. Vitus Rubianto Solichin