Selesai perkuliahan di Yogyakarta, saya menjadi guru SMP Santo Petrus Tuapeijat, Sipora Utara,Mentawai sejak empat tahun terakhir. Lewat tulisan ini, saya ingin menuliskan ‘perbandingan’ suasana dan nuansa masa prapaskah yang ada di Tuapeijat dan di kampung halaman, Ugai, yang terletak di daerah Rereiket, Siberut Selatan, Mentawai.

Dalam konteks keterlibatan umat menggereja di kampung, selama ini yang saya alami dan rasanya, pada umumnya umat banyak terlibat tatkala ada perayaan-perayaan besar; misalnya di masa Prapaskah, Paskah, Adven, Natal, terlebih pergantian tahun. Begitupun kalau ada kunjungan pastor, uskup, dan sebagainya. Hanya saja, usai momen/perayaan tersebut, umat kembali pada aktivitas dan rutinitas semula. Sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.

Selain itu, saya mendapati, ‘masuknya’ teknologi komunikasi dan informasi turut berdampak pada aktivitas menggereja umat di Ugai. Ada perubahan keaktifan menggereja. Namun, agak unik saya temukan di Tuapeijat, ibu kota Kabupaten Kepulauan Mentawai. Di tempat ini, keaktifan menggereja umat, apa pun aktivitas yang dilakukan, umat selalu ambil bagian. Bangunan gereja selalu penuh (full) dengan kehadiran umat, seakan kapasitas yang ada tidak sanggup lagi menampungnya.

Spesifik masa Prapaskah, khususnya Trihari Suci, ada kesamaan aktivitas yang dilakukan umat di Ugai dan Tuapeijat. Umat selalu ikut serta dalam kegiatan Jalan Salib. Seluruh rangkaian Trihari Suci dijalani. Namun, ada yang membedakannya, awal masa Prapaskah hingga Trihari Suci. Biasanya, dalam masa Prapaskah berlangsung aktivitas pendalaman iman – dengan menggunakan bahan yang telah disiapkan oleh paroki bersumber dari Komisi Kateketik Keuskupan Padang. Selain itu juga ada aksi penggalangan dana sebagai bentuk konkrit pantang dan puasa yang dijalani umat lewat Aksi Puasa Pembangunan (APP). Saat Prapaskah juga menjadi kesempatan penerimaan Sakramen Pengakuan Dosa/Tobat.

Di Ugai, dalam masa Prapaskah, sebelum Trihari Suci, pada umumnya umat Katolik masih berada dan bekerja di ladangnya (mone). Kerap terjadi, akibat ‘sibuk’ di kebun atau ladangnya yang ada kalanya terletak jauh dari rumah kediamannya, umat tinggal bermukim sementara waktu di ladangnya. Kembali lagi ke rumah pada Sabtu sore dan pergi ke ladang pada Senin pagi. Rutinitas harian seperti ini telah menjadi ritme/irama kehidupan masyarakat setempat yang menggantungkan mata pencarian pada hasil kebun/ladang. Tidak mengherankan kalau pantang dan puasa masa Prapaskah terlewatkan begitu saja. Bisa jadi umat tidak lagi tahu dan lupa sedang berada dalam masa Prapaskah/Adven, serta apa saja yang mesti dilakukan untuk menjalaninya. Lupa berpantang dan berpuasa. Saya yakin, dalam Prapaskah, untuk hal ini (pantang dan puasa) tidak dilakukan sama sekali oleh umat setempat. Sungguh berbeda dengan puasa di kalangan Muslim yang lebih terlihat kasat mata dan kentara.

Sekitar empat tahun berdomisili di Tuapeijat, saya melihat adanya kegiatan pendalaman iman yang disiapkan paroki. Beda di Ugai, tidak pernah dilakukan. Yang ada adalah pendalaman iman dalam bentuk sermon, biasanya dipimpin Petugas Pastoral Paroki (P3), sehari sebelum Perayaan Sabda dan Perayaan Ekaristi. Sermon berlangsung Sabtu malam atau malam Minggu. Tidak ada bentuk kegiatan pendalaman iman selain sermon. Apa sebabnya? Menurut dugaan saya saja. Pertama, tidak adanya kemauan dan sikap tidak peduli mau ‘dekat’ dengan Tuhan. Kedua, sangat minimnya inisiatif, dorongan, gebrakan pengurus stasi mengurus umatnya. Parahnya, dewasa ini, gencar terjadi perpindahan agama oleh sebab adanya iming-iming bantuan tertentu, terutama ekonomi dan pendidikan.

Di Tuapeijat, disediakan amplop APP dari paroki yang disebarkan kepada umat dan pada waktunya dikumpulkan lagi. Selain itu, penerimaan Sakramen Pengakuan Dosa/Tobat di Tuapeijat ditanggapi antusias oleh umat, berdasarkan tiap kring/rayon. Lain pula di kampung. Tidak semua umat ikut dalam pengakuan dosa. Bahkan, terkadang, umat di kampung mengalami kendala: tidak hafal Doa Tobat dan adanya perasaan malu mengakukan dosa kepada pastor/imam.

Trihari Suci: Umat Membludak

Di Tuapeijat, kegiatan pendalaman iman dipandu pastor paroki ataupun ketua kring, dilakukan berdasarkan rayon/kring, ada juga dilaksanakan secara bersama biasanya yang diikuti pengurus gereja, para ketua kring/rayon, Wanita Katolik RI setempat, Orang Muda Katolik/OMK, dan kelompok kategorial lainnya. Kegiatan pendalaman iman biasanya berlangsung di gereja serta dipandu pastor. Juga ada suster dan guru agama Katolik ikut mendampingi. Saya ingat pernah mengikuti pendalaman iman satu kali pada tahun silam di masa Prapaskah dan BKSN. Penerimaan abu berlangsung tepat pada Rabu Abu. Para pelajar pun ikut disertakan menjalani Prapaskah, termasuk pelajar Katolik SMP Santo Petrus Tuapeijat – yang berumur 14-18 tahun, karena mereka sudah bisa menjalani pantang, biasanya Rabu dan Jumat.

Dari pengalaman beberapa tahun sebelumnya, dalam masa Prapaskah, di lingkungan sekolah Yayasan Prayoga Padang, setiap Jumat berlangsung pengumpulan dana yang disisihkan dari ‘uang jajan siswa’ berupa Aksi Solidaritas Prayoga (Asolpra).  Masih di Tuapeijat, kegiatan pendalaman iman juga diselenggarakan untuk murid tingkat sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) – pada Bulan kitab Suci Nasional (BKSN) yang dipimpin langsung oleh guru agama Katolik.

Ada kesamaan di Tuapeijat dan Ugai saat Trihari Suci. Gereja selalu ramai dan dipadati umat yang membludak sehingga meluber hingga ke luar gereja. Semarak dan meriah walau di satu sisi dibalut dalam kesedihan. Suasana yang sama juga terlihat saat perayaan Natal. Hanya saja, setelah Natal ataupun Paskah, gereja kembali sepi. Semangat beragama bagi sebagian umat kita ibarat kapal selam, sehingga muncul istilah mentalitas beragama ‘napas’ (natal paskah). Muncul saat tertentu, lantas menghilang. Entah disebabkan kurangnya pengetahuan iman, sikap beragama saat butuh saja – setelah selesai menghilang. Juga, kurang teguh sehingga mudah dirayu untuk hal-hal yang dipandang bisa mengubah keadaan hidupnya. Banyak kejadian ini di kampung saya. Saat ada penyaluran bantuan, mudah dan cepat berpaling dari agama semula.

Memang ada katekis paroki, guru agama Katolik, petugas pastoral paroki (P3) yang diharap bisa mengakarkan iman umat Katolik setempat. Hanya saja, saya yang kini berdomisili di Tuapeijat mendapat kabar seakan tidak melakukan apa pun – sebagai antisipasi – bahkan seolah pembiaran. Agak berbeda situasinya di Tuapeijat. Meski Natal, Paskah sudah berlalu; namun tidaklah seperti ungkapan seperti kapal selam dan Katolik ‘napas’. Antusiasme umat menggereja tetap berlanjut dan berlangsung. Berbagai aktivitas/kegiatan bersifat kelompok teritorial dan kategorial tetap berlangsung. Kehadiran umat pun di gereja paroki ini tidak sanggup lagi menampung jumlah yang hadir. Boleh dikatakan kehidupan iman umat lebih terpelihara. Mungkin karena faktor pendidikan dan ekonomi yang lebih baik.

Eujenius Salemurat, S.Pd.
Guru SMP Santo Petrus Tuapeijat, Mentawai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *